<strong>SENARAI MENGENAL KEMBALI DESA: DARI PERTANIAN SAMPAI SOAL BAHASA</strong>
Resensi oleh: Busthomi Afif*)
Judul Buku : Melihat Desa Dari Dekat:
Catatan Perjalanan Tentang Satu Bahasa
Penulis : Nurhady Sirimorok
Penerbit : Buku Mojok Grup
Halaman : 162 Halaman
Cetakan: Cetakan kedua, juli 2020. 13 x 19 cm.
ISBN : 978-602-51695-4-0
Seperti slogan “Indonesia Raya Merdesa”, tulisan yang tersablon hitam yang menindih bintang merah di bagian depan kaos warna putih yang dibeli tahun 2017 silam. Tafsir bebas saya saat itu adalah bahwa desa harus merdeka. Dari slogan itu pula-lah yang membuat saya tertarik untuk lebih memahami tentang Desa. Hingga kemudian saya menemukan kata dan maknanya di website InsistPress, bahwa ‘Merdesa’ adalah asal kata dari Desa dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti tempat hidup yang layak, sejahtera, dan patut. Dalam pengertian tersebut tersirat makna desa sebagai ‘tanah perdikan’ suatu kawasan yang merdeka dan berdaulat. Per hari ini, apakah realitas desa sesuai dengan makna yang disandangnya? 21 (dua puluh satu) esai Nurhady Simorok yang kemudian dibukukan yang berlatar desa-desa di Sulawesi akan mengantarkan kita pada kesesuaian kata dan makna diatas.
“Melihat Desa Dari Dekat. Catatan Perjalanan Tentang Satu Bahasa” (Buku Mojok Grup. 2020) cetakan ke-2 dengan Judul yang panjang, tidak jauh berbeda dengan Cetakan pertamanya, perbedaannya, di cetakan ke-2 yang dicetak tebal dan besar adalah kalimat “Melihat Desa Lebih dekat”, Jelas lebih menarik daripada cetakan yang pertama dimana kalimat itu dicetak lebih kecil. Ilustrasi sampulnya-pun lebih mewakili landscape latar ruang dalam isi bukunya. Di Sampulnya tergambar seorang mengenakan caping dan mengayuh sepeda di antara sawah dan gunung. Sebuah ilustrasi yang erat sekali dengan pedesaan dan situasi yang saya lihat waktu kecil dulu sebelum budaya berkendara dan situasi jalan raya di desa sama seperti yang terjadi di kota, kendaran bermotor mendominasi jalan jalan di desa, baik jalan raya yang beraspal, atau tanggul sawah (Jalan Sawah) yang berbatu atau sekedar tanah yang jika musim hujan becek dan sangat sulit dilewati kendaran, termasuk kendaraan tak bermotor sekalipun.
Dalam essay ketiganya Nurhady mengangkat sebuah peristiwa banjir bandang yang merobohkan jembatan yang kemudian ia kaitkan dengan ketimpangan pengguna kendaraan. Ia menceritakan bagaimana kaki-kaki di Sungai Boyantongo, dekat Kota Parigi, Sulawesi Tengah menjadi alat angkut penyeberangan bagi orang-orang dan kendaraan bermotor di dua sisi sungai. “kaki manusia yang selama ini dianaktirikan berubah menjadi pahlawan. Sementara anak-anak emas pembangunan, kendaraan bermesin, lunglai tak berdaya (Halaman, 25).”
Kata ‘dianaktirikan’ sangat menarik bagi saya, karena perlakuan itu saya alami sendiri. Sebuah pengalaman berkendara yang menjengkelkan ketika berkendara menggunakan sepeda melalui jalan Pantura yang menghubungkan Kabupaten cirebon dan Indramayu. Saya merasakan ketidaknyamanan berkendara di jalan itu, seringkali roda sepeda onthel terpaksa harus turun ke samping jalan yang berkerikil dan berbatu karena dipaksa minggir oleh truk-truk besar, mobil-mobil pribadi, dan kendaraan bermesin lainnya. apa karena sepeda onthel tidak berpajak hingga kemudian dalam pembangunan jaringan transportasi tidak ada jalur khusus untuk pesepeda?
Lalu bagaimana para petani yang masih menggunakan sepeda dan melalui jalan-jalan seperti itu? Ya, kiranya para petani gurem harus menyesuaikan diri dengan pembangunan itu. Seperti bapak saya yang harus membeli hak kenyamanan berkendara itu dengan mencicil kendaraan bermotor bekas dan pembayarannya setiap selesai panen.
Pengalaman berkendara yang berbeda tetapi dengan perasaan yang sama ketika saya mengendarai motor dan berjumpa rombongan pesepeda yang menguasai hampir setengah ruas jalan, mereka mengendarai sepeda multi gear, mengenakan pakaian yang seragam, memakai sepatu, dan membuat tiga sampai lima banjar barisan yang hampir menguasai satu lajur kiri jalan provinsi. Yang tentunya berbeda dengan tetangga dan ibu saya sendiri ketika pergi atau pulang dari sawah, menggunakan sepeda butut dan kadang mengeluarkan bunyi mirip tikus yang terjepit ketika pedal sepeda dikayuh, berpakain lusuh dan kusut, dan berbaris seperti semut ketika bersepeda bersama dengan petani-petani lain.
Karena melihat perbedaan budaya bersepeda seperti itu, perasaan saya lebih nyaman ketika berjumpa dengan rombongan petani yang bersepeda. Pengalaman ini membuat saya merasa diadu domba oleh jalan raya. Membuat saya iri dengan kondisi jalan yang ada di Belanda atau di kota-kota luar negeri yang diceritakan Nurhady, jalan yang terdapat jalur sepeda di dua sisi lajur kendaraan bermesin, trotoar yang haram dijamah kendaraan bermesin dan sepeda, juga jalur khusus untuk angkutan publik massal.
Perbedaan budaya kota dan desa bisa dijumpai dalam beberapa essay yang ditulis Nurhady. Yang kemudian perbedaan itu turut membangun pandangan orang kota terhadap desa ataupun sebaliknya. Para pelajar di kota yang memandang petani desa “….miskin, tertinggal, bodoh, kotor dan sebagainya.” (Halaman 55) atau petani yang membayangkan betapa enaknya bekerja kantoran (halaman 70).
Pertukaran informasi yang terjadi melalui media massa tradisional maupun media massa modern sangat mungkin melahirkan atau merubah pandangan dan sikap para penggunanya. Misal dalam sebuah siaran televisi disajikan informasi terkait aktivitas pertanian yang menggambarkan petani sedang menggarap lahan, maka pantas bila para pelajar kota diatas memandang petani itu kotor. Begitupun dengan warga desa ketika melihat sebuah tayangan yang menggambarkan perkotaan yang jauh dari lumpur, pandangan betapa beruntungnya jika ia atau anaknya bisa bekerja di kota akan sangat mungkin terbentuk.
Lantas apakah tayangan-tayangan itu mewakili seluruhnya dan sebenar-benarnya terkait apa yang terjadi di desa atau di kota? Sayangnya, informasi-informasi yang disajikan media massa seringkali tidak lengkap, tidak akurat, atau bahkan bertolak belakang, (Halaman 57). Nurhady juga menuturkan bahwa para akademisi yang melakukan penelitian di desa dan ketika kembali membawa hasil penelitian yang menceritakan Desa dan masalahnya turut membentuk cara pandang orang kota, termasuk media. Yang perlu dikaji kemudian adalah mengapa warga desa khususnya petani membayangkan kehidupan yang lebih baik seperti yang mereka anggap kehidupan itu ada di kota? Apa yang terjadi dengan kehidupan dan yang menghidupinya?
Potret Urbanisasi dan Pertanian di Desa
Benar apa yang dikatakan Nurhady bahwa urbanisasi bukan hanya mengalirnya orang desa ke kota-kota, namun bisa juga berupa mengalirnya gagasan, Informasi dan barang-barang pabrikan ke desa-desa (Halaman 68). Ya, masuknya barang-barang dari kota semakin menambah kebutuhan yang harus ditanggung bagi keluarga petani di desa, selain kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan untuk mengelola pertanian yang menghidupi mereka, biaya membeli pupuk, pestisida serta ongkos produksi lainnya, seperti sewa traktor dan ongkos buruh tandur bagi petani padi. Sementara berapakah rasio harga barang-barang kebutuhan petani dengan harga produk petani?
Data Badan Pusat Statistik Jawa Barat per Mei 2022 menyebutkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) bagi tanaman pangan menurun sebesar 0,28% dibandingkan April 2022, dari 97,17 menjadi 96,90. NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, salah satu Indikator utama untuk melihat kesejahteraan petani. Angka NTP 100 berarti petani mengalami Impas, lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian. 2018 lalu NTP di angka 100, berarti dalam 3 tahun terakhir NTP mengalami penurunan.
Sebagai anak petani yang sejak kecil dihidupi dari lahan pertanian, melihat data NTP tersebut semakin membuat hati teriris, bagaimana nasib petani gurem termasuk bapak saya, yang tidak mungkin tidak berhutang untuk memulai masa tanam?. 20 Agustus 2022 kemarin saya pulang ke Indramayu dan menyaksikan para petani sedang panen raya, akankah bulan ini dan bulan-bulan selanjutnya NTP akan naik atau justeru mengalami penurunan kembali? Apakah para petani hanya bisa berharap atas apa yang akan menentukan nasibnya?
Pertanian bagi petani kecil ibarat narkoba bagi pecandunya. Sadar bahwa hasilnya tidak seberapa bahkan cenderung mengalami kerugian jika dilihat dari NTP diatas, namun mereka tidak kapok untuk memasuki lingkaran setan kembali. Memulai masa tanam dengan berhutang, membeli pupuk dengan harga mahal, menjual produk dengan harga murah. meninggalkan pertanian adalah pilihan yang sulit, hanya membuat petani kecil semakin sakau, karena dari pertanian lah mereka bisa menutup lubang yang sebelumnya telah digali. Darimana ketergantungan ini dibangun?
Semua dimulai dari revolusi besar yang terjadi pada budidaya tanaman pangan. Awal 1980-an pemerintah orde baru gencar mengkampanyekan Revolusi Hijau untuk mencapai swasembada beras. Revolusi ini pada dasarnya berarti pengadaan bibit ‘varietas unggul’, input kimia (pupuk, pestisida dan herbisida), dan mekanisasi (traktor), Yang kemudian perubahan sistem budidaya ini mengalami kenaikan ongkos produksi petani dan membuat banyak petani gurem sulit memulai musim tanam tanpa berhutang. Revolusi hijaunya Orba memang mampu mengantarkan Indonesia pada swasembada beras sejak 1984 (Sjofjan Asnawi 1988: 7) namun dibalik kejayaannya, deretan permasalahan muncul hingga dampaknya dirasakan sampai sekarang. Ketimpangan penguasaan lahan, produktivitas yang semakin menurun, hilangnya kolektivitas petani, hilangnya berbagai benih lokal dan pengetahuan tentangnya (halaman 133).
Apa yang terjadi kemudian adalah tidak sedikit dari teman-teman saya memilih untuk mencari penghidupan yang menurut mereka atau orang tua mereka lebih menjamin, lebih memiliki kepastian untuk mencukupi kebutuhan mereka. Mengejar ijazah sekolah sampai tingkat tertentu atau mengikuti pelatihan tertentu agar bisa diterima di salah satu perusahaan yang gajinya lebih tinggi dari apa yang dihasilkan orang tuanya sebagai petani. Pergi ke kota atau keluar negeri meninggalkan desa yang menumbuhkannya. Ya, “Desa menjadi tempat bertumbuh sebagai anak-anak untuk kemudian ditinggalkan ketika beranjak remaja atau menjelang dewasa” (halaman 104).
Demikianlah sebuah fenomena yang terlihat di desa saya sendiri atau dari catatan perjalan Nurhady. Sebuah fenomena perginya orang muda dari desa, walaupun ada juga yang tetap tinggal di desa dan mencoba berwirausaha, namun jumlahnya tidak lebih banyak dari orang-orang muda yang meninggalkan desa. Apa yang terjadi jika desa ditinggalkan oleh orang-orang mudanya?
Perubahan besar yang terjadi di indonesia tidak bisa dilepaskan dari kerja orang muda, seperti perang revolusi dan reformasi (Sirimorok; Jurnal Wacana 2017). Pemuda memiliki lebih banyak energi, tenaga dan pikirannya lebih mungkin diarahkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dibanding para orang tua yang telah kehilangan separuh energinya karena faktor usia. Pemuda menjadi elan vital untuk menjadikan desa sebagaimana makna yang telah disandangnya.
Terkhusus bagi desa yang memiliki potensi dalam sektor pertanian, Dalam catatan ke 19nya, Nurhady membagikan 3 (tiga) cara untuk mengajak orang muda menjadi petani. Pertama tunjukan kepada mereka prospek cerah pertanian, kedua hadirkanlah kondisi yang lebih pasti, dan ketiga berkali mereka dengan keterampilan dan pengetahuan bertani. Solusi tersebut terasa mudah diucapkan namun sepertinya sulit diterapkan. Namun bukan tidak mungkin solusi tersebut bisa dengan mudah diatasi jika seluruh elemen yang ada di desa baik perangkat desa, para penyuluh pertanian, lembaga pendidikan dan para petani itu sendiri bekerjasama secara serius untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dan mengembangkan potensi yang dimiliki sektor pertanian.
Mungkinkah perkembangan kemajuan teknologi dan informasi mampu di dimanfaatkan untuk mendukung kerja-kerja pertanian, merubah pandangan buruk terkait desa, dan mengembalikan minat orang muda untuk hidup di desa?
Demikian yang saya rasakan, terasa lucu dan menertawakan diri karena sebagai orang desa saya masih harus melihat desa lebih dekat dari catatan orang lain, yang semestinya lebih memahami apa yang terjadi di lingkungannya sendiri. Namun harus diakui bahwa setiap orang tidak mesti memahami apa yang dilakukannya atau akar masalah yang sedang dihadapinya. Oleh karenanya analisa kritis yang dituangkan Nurhady Sirimorok dalam catatan perjalanannya menjadi bahan yang menarik untuk didiskusikan, untuk memantik kesadaran warga desa khususnya pemuda dan lebih khusus lagi para pemangku jabatan dan pengambil keputusan agar memiliki imajinasi untuk merencanakan pembangunan desa yang layak, patut dan mensejahterakan. []
*) Penulis adalah warga belajar di Yayasan Wangsakerta, alumni program Ngenger Angkatan 1 tahun 2021