Sekolah Alam Wangsakerta sebagai Cermin bagi Sekolah Lain
Oleh: Sarah Mudrikah Amalina*)
Kisah ini bermula pada kegiatan perkuliahan yang mengharuskan saya untuk bergabung dengan pelajar di Sekolah Alam Wangsakerta, yang mana para pelajar di sana adalah oreng-orang yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal seperti remaja umumnya. Kebanyakan dari mereka putus sekolah karena kekurangan biaya sebagian lagi karena tidak ada ketertarikan pada dunia formal.
Hari pertama saya di sana dikejutkan dengan aroma aneh yang menyengat, saya kira dari mana asalnya? Ternyata aroma itu berasal dari bawang putih yang mereka simpan di bawah tanaman-tanaman budidaya mereka, guna mempersubur tanaman. Bawang putih itu mereka jadikan pupuk alami.
“Dibuang sayang, harga pupuk mahal sekarang kak” kata salah satu pelajar di sana.
“Oh begitu ya, jadi kalian di sini belajar cara rawat tanaman gitu?”.
“Iya kak, selain belajar merawat tanaman kita juga diajarin cara membuat pupuk, cara menggunakan komputer, cara memanfaatkan aplikasi-aplikasi di komputer seperti microsoft excel, microsoft word, diajarkan cara berbisnis dan apapun yang ingin kita pelajari’’
Mereka belajar tidak mengikuti kurikulum manapun, yang mereka pelajari adalah sesuatu yang sangat mereka butuhkan. Contohnya di sekitar SA Wangsakerta terdapat banyak lahan tandus yang dipenuhi ilalang dan tidak dapat dimafaatkan, dikarenakan kemampuan masyarakat terhadap pengolahan tanah sangat minim. Akhirnya pihak sekolah memutuskan untuk memberikan edukasi pengelolaan lahan tani kepada mereka. Metode yang digunakan pun sangat bagus, karena di Sekolah Alam Wangsakerta hanya memberikan 30% materi dan selebihnya praktek.
Biasanya tenaga pendidik di sana memberikan materi di hari pertama sebagai pembuka. Di hari selanjutnya mereka diminta langsung praktek masih tetap mendapatkan pendampingan. Praktek tersebut akan terus berlangsung hingga seluruh siswanya mampu melakukannya dengan baik. Kegiatan seperti ini dilakukan pada setiap pelajaran yang disampaikan, sudah terbayang betapa multi talenta-nya pelajar di sana.
Konon 99,99% pelajar di sana awalnya gaptek alias gagap teknologi. Jangankan untuk memanfaatkan aplikasi-aplikasi kekinian, untuk menghidupkan komputer saja mereka masih butuh bimbingan. Namun berkat kesabaran pendiri dan tenaga pengajar di sana, hampir seluruh pelajar di sana sudah mampu memanfaatkan Microsoft Word, Excel dan beberapa aplikasi lain yang sudah mereka pelajari. Keren kan?👏👏
Di hari Sabtu, saya dan kawan-kawan sekelas mengikuti kegiatan rutinan mereka yaitu mengangkut sampah. Kegiatan ini rutin mereka laksanakan satu kali dalam seminggu Kali ini ada kegiatan yang spesial yakni membersihkan TPS (Tempat Pembuangan Sampah) karena sampah menumpuk meluber ke jalan. Awalnya saya enggan menyentuh sampah. Jangankan mau ikut bersihin tumpukan sampah yang lumayan banyak seperti itu, menampung sampah rumah tangga satu RW lagi! Membayangkannya saja saya tidak mau! Tetapi karena merasa tidak enak kepada guru dan teman-teman, saya memutuskan untuk ikut bergabung.😏
Ternyata membereskan sampah sebanyak itu tidak se-menjijikan yang saya bayangkan. Sebaliknya, kegiatan itu sanggat menyenangkan! Apalagi dosen kami selalu menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan aktifitas yang kami lakukan. Jadi selain kami mengerti cara kerjanya, kami juga mendapat pengetahuan dan teori berbagai pekerjaan yang kami lakukan.🥰🥰🥰🥰
Bagiku Sekolah Alam Wangsakerta layak menjadi cerminan bagi sekolah lainnya karena sekolah ini memberikan pelajaran sesuai yang dibutuhkan pelajar secara riil. Tidak jarang sekolah Alam Wangsakerta mendatangkan ahli dari berbagai bidang untuk berbagi pelajaran dan kemampuan kepada pelajar di sana.[]
*) Penulis adalah mahasiswa Mahad Aly Ponpes Kebon Jambu Cirebon