Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

<strong>Politik Swasembada Beras di Indonesia: Sebuah Titik Kajian Awal</strong>

Oleh: Imam Fatori (Bejo)*

Pada 16 Agustus 2022, tepatnya hari selasa, pagi hari itu saya pergi ke warung untuk berbelanja sayuran, sekitar pukul delapan pagi, saya melihat anak-anak kecil berdiri di lapangan depan sekolah dasar di dusun Karangdawa, yang sedang mengikuti berbagai macam perlombaan untuk memperingati hari kemerdekaan bangsa kita, Indonesia. hal ini mengingatkan saya bahwa bulan ini, Indonesia telah memasuki umur yang ke 77 tahun. Membahas soal kemerdekaan selain proklamasi dan perjuangan, saya ingat sebuah buku jurnal berupa majalah Prisma, yang terbit pada 1988. Majalah ini memuat beberapa tulisan hasil riset yang membahas swasembada beras. 

Swasembada sendiri adalah kemampuan sebuah Negara untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan bagi masyarakatnya. yang dulu di jaman kemerdekaan digabungkan  dan menjadi proyek prioritas pemerintahan Bung Karno, kemudian dilanjutkan di era pemerintahan pak harto kala itu, bahkan seterusnya hingga sampai sekarang. Sedikit saya akan meringkas beberapa poin  dalam karya tersebut mengenai swasembada dan hal-hal yang mendukung tercapainya swasembada

Awal Mula Politik Swasembada Beras

Sejak 1924-1986, selama 60 tahun Indonesia telah berubah dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor beras. Bahkan di tahun 1977-1979 Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar di dunia.  Hal  itu disebabkan karena laju pertumbuhan produksi beras di Indonesia lebih rendah, dari laju pertumbuhan permintaan. Laju pertumbuhan permintaan ditentukan oleh laju pertumbuhan penduduk dan laju pendapatan masyarakat. Mengandalkan kecukupan pangan terutama beras pada impor, dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Swasembada beras tidak saja menghemat devisa, tetapi juga memperluas kesempatan kerja, baik di masa produksi maupun pasca panen (Asnawa Sofian, dkk, 1988)

Bi Kamilah, petani di Kampung Karangdawa Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon sedang menggeprek gabah hasil taninya. Bi Kamilah bertani di lahan Danau Setu Patok yang dimanfaatkannya untuk menanam padi ketika air surut.

Beras sangat penting artinya bagi perekonomian Indonesia, dan menjadi makanan pokok hampir sebagian masyarakatnya. Harganya, terutama ketika naik sering menjadi barometer bagi persoalan lain, termasuk upah dan gaji buruh. Tidak stabilnya harga beras   dapat menimbulkan ketidak amanan di bidang politik dan pemerintah, sebagai contoh dalam tahun 1950.an banyak kabinet jatuh karena tidak bisa menjaga kenaikan harga beras.  Sejak masa kemerdekaan pemerintah telah memprioritaskan proyek swasembada beras, dengan berbagai program yang dicanangkan, mulai dari  kemakmuran kasino 1852-1956 sampai program Insus di tahun 1980, setelah bergulat selama 32 tahun, swasembada beras baru direalisasikan ditangan pemerintah orde baru di tahun 1984.

Sejak keberhasilan itu, tampaknya Indonesia mengalami kewalahan dalam menjaga predikat swasembada beras, di tahun tahun berikutnya, produktivitas tanaman padi makin menurun. Padahal untuk mempertahankan predikat swasembada, diperlukan kenaikan produksi 2,4% per tahun. Akibatnya beberapa tahun berikutnya, Bulog di persilahkan untuk impor beras kembali.

Dalam tahun tahun permulaan setelah disebarkanya varietas padi unggul oleh IRRI ( international rice research institute) di tahun 1960-an, banyak yang memperkirakan bahwa Negara Negara yang sedang berkembang akan mencapai swasembada beras dalam waktu singkat.  Penemuan baru itu dianggap sebagai sebuah revolusi, dengan nama green revolution(penggunaan varietas unggul baru, pupuk kimia, dan pestisida).  Tetapi setelah beberapa tahun kedepan dirasakan adanya berbagai hambatan untuk mensukseskan revolusi hijau, salah satunya adalah belum tersedianya air irigasi yang cukup dan terkontrol. Green revolution tidak akan berhasil tanpa blue revolution. Tersedianya air irigasi yang cukup dan terkontrol tidak hanya saja merupakan input kunci untuk meningkatkan produksi tanaman padi, tapi juga merupakan unsur yang vital untuk efektifnya penggunaan teknologi yang lebih baik, yakni; varietas unggul yang berumur pendek dan berdaya hasil tinggi, pupuk kimia dan pestisida.

Untuk menjawab pertanyaan seberapa pentingnya peranan irigasi dalam meningkatkan produktivitas tanaman padi, ada 2 model yang perlu dibahas: pertama, model takase yang diprakarsai oleh Takase dan Kono (1969) yang memiliki 4 tahap perkembangan produktivitas padi, dari mulai tanah tadah hujan yang artinya ladang tersebut masih mengandalkan langit sebagai bandar air, sampai pada tahap ke 4, dimana air irigasi sudah masuk dan terkontrol dengan baik di ladang pesawahan. Kedua, model ishikawa yang diprakarsai oleh Ishikawa sendiri. Dari kedua model ini sebetulnya  hampir sama di tiap tahap dan penjelasanya namun ada 1 perbedaan yang menonjol pada model ishikawa, yaitu pada model Ishikawa di tahap ke 4 sampai menghitung seberapa banyak tenaga kerja yang diserap jika air irigasi sudah cukup dan terkontrol. 

Kedua model ini sama-sama menunjukan korelasi antara produksi/ha dan perkembangan teknologi di masa depan. Irigasi menjadi kunci penting untuk tahap tahap perkembangan teknologi dan produktivitas padi. Kedua model itu menunjukan bahwa green revolution tidak akan berhasil tanpa blue revolution (Asnawa Sofian, dkk, 1988).

Dengan proyek PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dari 1-4 pemerintah telah merehabilitasi, membangun, dan memperluas irigasi seluas 8,4 juta ha, Kesimpulanya adalah irigasi menjadi prasyarat untuk menuju teknologi yang modern. Kendati demikian pemerintah belum bisa manajemen dengan baik irigasi tersebut, bahkan berpotensi menimbulkan konflik. Terbukti dengan adanya organisasi lokal pemakai air milik masyarakat setempat, seperti; subak di Bali, yang telah menerapkan hukum adat, agama, dan sosial dengan baik, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk mengikuti setiap proses pembangunan sampai perawatan saluran irigasi. Padahal dalam UUD, organisasi pemakai air itu diakui haknya secara utuh.

Akibatnya beberapa bangunan irigasi milik pemerintah tidak diurus, bahkan mereka merusak saluran itu, karena dianggap tidak efektif dan tidak adil. Hal itu berbanding terbalik pada saat kolonial membangun saluran irigasi, pihak kolonial menempatkan petani dan organisasinya sebagai penanggung jawab lapangan, pihak kolonial hanya membantu di pengadaan alat berat dan bahan. Untuk konsumsi pekerja mereka sendiri yang mengaturnya.  Akhirnya, dengan cara seperti itu, petani merasa memiliki hak atas saluran irigasi, sehingga mereka mengurusnya dengan baik, bahkan ketika ada perehaban dana yang mereka gunakan dari uang kas yang mereka miliki

“Saya merasa keberatan atas penghargaan swasembada, karena pak Jokowi boleh mengklaim pencapaian swasembada itu dari segi produksi, tapi untuk kesejahteraan petani rasa rasanya belum terwujud. Makna dari swasembada bukan sekedar hasil produksi yang bisa dikatakan surplus dari jumlah kebutuhan, tapi ada makna yang seharusnya menjadi tujuan swasembada yaitu kesejahteraan para petani”

Teknologi dan Kesempatan Kerja dalam Sektor Pertanian

Swasembada beras merupakan program turunan dari revolusi hijau (green revolution) yang merupakan satu program untuk perkembang teknologi yang lebih maju dan mumpuni, terutama di sektor pertanian. Mengingat arti dan maksud dari revolusi hijau yang mengedepankan teknologi baik dari tanaman padi, seperti varietas unggul, maupun dari teknologi pendukung seperti pupuk kimia, dan sebagainya. Untuk meningkatkan produktivitas di bidang pangan, Pada masa swasembada inilah awal penerapan teknologi pertanian di Indonesia khususnya mulai marak dan masif. Berkembangnya penerapan  teknologi di bidang pertanian merupakan kondisi yang dibutuhkan masyarakat pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup mereka,  dengan adanya penerapan teknologi baru, ada kecenderungan dalam peningkatan  hasil yang mengakibatkan meningkatnya produktivitas, bersamaan dengan itu pula, ada peningkatan pada harga sewa tanah dan peningkatan bagi pemilik lahan. Akibat dari peran irigasi yang terkontrol  khususnya di daerah jawa dan Sulawesi, telah terjadi perubahan teknologi, dari mulai tenaga manusia-hewan ternak-traktor untuk membajak lahan di awal musim produksi. Bahkan di musim panen mereka juga telah menggunakan mesin thresher, sejak tahun 1978. 

Kendati demikian dengan maraknya penggunaan teknologi di sektor pertanian, mengakibatkan banyak bergantinya tenaga dan kesempatan kerja masyarakat. Namun hal itu dibantah oleh pemerintah, pemerintah menganggap  dengan adanya mekanisasi teknologi semata mata tidak ingin menggantikan tenaga kerja manusia, tetapi pemerintah melihat kekosongan di sector pertanian pedesaan, yang semakin berkurangnya minat warga dan anak muda untuk mengolah tanahnya.

Strategi Bertahan dalam Swasembada Beras

Strategi yang akan ditempuh untuk mempertahankan swasembada beras adalah memperbaiki mutu intensifikasi di daerah daerah potensial dan berigasi baik, yang artinya petani harus mempertahankan  kenaikan produktivitas padi, 2,4%/tahun. Dengan dibantu sapta usaha tani sebagai program pengembangan teknologi, yang meliputi, bibit bersertifikat, pengolahan tanah lebih dalam, pupuk yang imbang, zat pengatur tumbuh, dan pembasmi hama. 

Akan tetapi, selain teknologi untuk tanaman padi,  pemerintah juga tidak melupakan program soal diversifikasi pangan, karena dalam rangka mencerdaskan anak bangsa, selain karbohidrat, masyarakat juga membutuhkan protein baik nabati maupun hewani. Dari program diversifikasi pangan  ini bertujuan untuk membantu pendapatan masyarakat yang hidup di lahan kering dan dirasa tidak efektif untuk tanaman padi. Selain itu juga, program diversifikasi pangan ini diharapkan dapat membantu menekan ketergantungan masyarakat terhadap nasi. Artinya dari program ini masyarakat diminta untuk tidak sepenuhnya makanan pokok itu berupa nasi, karena menurut pemerintah sumber karbohidrat itu bisa dari ketela pohon, umbi”an dan jagung. 

Melalui program insus, pemerintah sangat yakin bahwa kedepan Negara kita bisa melestarikan swasembada beras, tapi program tersebut harus dibarengi dengan pencetakan sawah baru yang cukup luas. Mengingat di pulau jawa sudah banyak lahan sawah  beralih menjadi non sawah yang sangat luas. Supra insus adalah gabungan penerapan dari program INMAS-INSUS, yang didukung dengan kerjasama antara kelompok petani, dan dengan dukungan teknologi tertentu, namun program insus tidak boleh di kesampingingkan tenaga kerja begitu saja, baik perorangan maupun jam kerjanya

Setelah membaca buku itu, saya mendapat pengetahuan tentang hal hal apa saja yang mendukung swasembada pangan, dan yang lebih  menariknya lagi ternyata setelah membaca buku itu akhirnya saya tahu bahwa asalnya nasi yang saya makan itu bukan berasal dari padi lokal, melainkan bibit dari satu organisasi besar bidang pertanian bernama IRRI. Buku ini juga sangat informatif, karena berbentuk kumpulan jurnal, tapi sayangnya dari sekian banyak masalah yang ditemukan di buku itu jarang ditulis soal perumusan masalah dan solusinya, meskipun ada sebagian.

Dan saya merasa kurang setuju dengan apa yang  pemerintah orde baru lakukan selama proses swasembada beras, pemerintah orba tidak mengedepankan pengetahuan bahwa swasembada pangan ini tujuannya bukan untuk komoditi yang harus di jual, tapi semaksimal mungkin kebutuhan dapur setiap warga tercukupi, tapi yang saya tangkap dari pemaparan buku itu malahan pemerintah terlalu ambisius untuk bisa ekspor komoditi beras di pasar global. Terbukti dengan penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan, akibatnya kerusakan ekosistem di sektor pertanian sekarang kita rasakan betul dampaknya. Mengganti bibit lokal dengan bibit baru yang  cenderung lemah jika terserang hama, menurut saya itu salah satu blunder yang pemerintah lakukan, padahal kita sendiri tahu bahwa bibit padi lokal yang sudah ada sejak dulu tergolong dalam bibit unggul, tapi pemerintah tidak mempertahankan itu. Dan pemerintah orde baru pun menyampingkan pendidikan para petani, petani selalu dipaksa untuk mematuhi segala aturan tanpa mereka mengerti apa yang sebenarnya mereka lakukan, bahkan pasca swasembada penyuluhan dari dewan pertanian pun sangat jarang dilihat.

Berbeda dengan eranya bung Karno, yang menjadikan swasembada beras sebagai pijakan untuk menuju kedaulatan pangan, saya dapat kutipan dari buku jejak pangan karya Andreas Maryoto tentang kegigihan bung karno mendidik para petani agar berdaulat, kurang lebih kutipan itu seperti ini: bung karno berpendapat, “menderita adalah memperkuat diri” beliau juga menambahkan, “Aku harus memberi makan jiwa rakyatku, tidak saja memberi makan perutnya. Kalau aku menggunakan semua uang untuk membeli beras, mungkin aku dapat memerangi kelaparan mereka. Tapi tidak, apabila aku memperoleh uang lima dollar AS, aku akan mengeluarkan 2,5 dollar AS untuk tulang punggung, dan mendidik satu bangsa adalah sangat kompleks.” Sangat jelas dari pernyataan Bung Karno di atas soal mendidik petani, bukan hanya mengisi perut supaya petani terdiam.

Di era pemerintahan pak jokowi pun Indonesia telah menyabet gelar swasembada beras,  dengan program reforma agraria-nya yang diprioritaskan sejak  periode pertama, IRRI telah memberikan penghargaan kepada presiden jokowi yang telah mampu mencapai swasembada beras di tahun 2019-2021, menurut data dari BPS produksi beras Indonesia di tahun 2019 sebesar 31,3 juta ton. Jumlah yang sama dengan produksi di tahun 2020 dan 202.  itu artinya, indonesia telah 2 kali meraih penghargaan swasembada tersebut (Seskab, 2022). 

Tetapi apakah betul swasembada itu tercapai seluruhnya, saya merasa keberatan atas penghargaan swasembada tersebut, karena pak jokowi boleh mengklaim pencapaian swasembada itu dari segi produksi, tapi untuk kesejahteraan petani rasa rasanya belum terwujud, padahal kita tahu bahwa makna dari swasembada sendiri bukan sekedar hasil produksi yang bisa dikatakan surplus dari jumlah kebutuhan, tapi ada makna yang seharusnya menjadi tujuan swasembada yaitu soal kesejahteraan para petani, artinya petani harus dipenuhi haknya, petani tidak membeli beras jika hanya sekedar untuk makan, dan mungkin petani sudah tidak terlilit hutang di tengkulak atau di kios pupuk, karena besarnya biaya produksi.

Di era sekarang petani tidak lagi memiliki keyakinan dalam hal panca usaha tani, mereka selalu menunggu pupuk yang bersubsidi, menunggu mayor pengatur air untuk mengatur anak buahnya supaya membersihkan saluran irigasi, itu beberapa akibat dari kepedean pemerintah orba yang menganggap swasembada beras sebagai akhir dari perjuangan mereka. Padahal jika ditinjau dari segi arti swasembada beras sendiri adalah kemampuan untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Saya sendiri menangkap satu pesan penting yakni mengenai kedaulatan petani yang sudah berkurang manakala petani tidak memiliki hak sepenuhnya atas produksi sampai pasca panen padi, semuanya diatur dalam kebijakan.[]

*) Imam Fatori adalah peserta program Ngenger angkatan 2 tahun 2022 Sekolah Alam Wangsakerta


Bagikan

- Kembali ke Arsip Catatan Lapangan 2017 - 2021

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru