Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

POLITIK BARU PANGAN: DIMULAI DARI SENDIRI SAMPAI KE JARINGAN KERJA BERSAMA

Oleh: Omen Bagaskara*)

Judul Buku: Berebut Makan, Politik Paru Pangan
Penulis: Paul Mc Mahon
Penerjemah: Roem Topatimasang
Jumlah Halaman: 370 Halaman
Penerbit: INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan, Tahun: Cetakan Pertama, Tahun 2017
ISBN: 978-602-0857-43-5

Setengah abad ketimpangan’ –barangkali suatu pernyataan yang terdengar terlalu tendensius, tatkala disampaikan sebagai catatan reflektif di tengah situasi yang dialami oleh sebagian masyarakat global yang baru saja bersorak haru-biru atas perayaan hari pangan sedunia, yang jatuh pada 16 Oktober kemarin. Ya, 16 Oktober pada setiap tahunnya diperingati sebagai hari pangan sedunia atau World Food Day. Penentuan serta penetapan dipilihnya ‘tanggal 16’ berikut awal mula waktu perayaan tersebut, didasarkan pertimbangan dari latar belakang sejarah kelahiran sebuah organisasi internasional bernama Food and Agriculture (FAO), sebuah lembaga di bawah naungan dan otoritas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang berpusat di Kota Roma, Italia, yang berdiri sejak 16 Oktober 1945. Singkatnya, 16 Oktober adalah hari berdirinya FAO, dan diprakarsai untuk peringatan hari pangan dunia; mengingat FAO sendiri punya mandat ‘mengurusi’ soal pangan, pertanian serta turunannya secara internasional. Tahun ini, peringatan hari pangan sedunia telah memasuki usia yang lebih dari 50-an; dan tepat di situlah, ia juga menunjukkan sisi lain betapa ketimpangan pangan juga memasuki usia yang lebih-kurang sama, atau jauh lebih tua dari sekadar angka tahun yang kita kenal. Tentu saja, sebagai bagian inheren dari ‘aktor utama rezim pangan global’, peran FAO –selama lebih setengah abad berjalan, turut dipertanyakan, apakah ia sejauh ini mampu mengkonsolidasikan otoritasnya dalam mengelola negara-negara di dunia untuk ‘tetap berada di rel’ menuju visi yang sama ke dalam prospek masa depan dalam memitigasi ancaman krisis pangan, atau justeru sebaliknya, ia bagian dari masalah itu sendiri?

***

Terdapat konstruksi analogi yang cukup menarik bagi saya yang disajikan oleh Paul McMahon, pada salah satu bagian di bukunya yang berjudul, “Berebut Pangan: Politik Baru Pangan (Insist Press, 2017)”. Cukup menarik, setidaknya, karena dua alasan, pertama, analogi yang membabarkan perihal relevansi sebuah teori yang familiar digunakan dalam lintas bidang keilmuan, baik keilmuan sains ataupun sosial-humaniora, yakni teori Prisoner’s Dilemma (Simalakama Narapidana) yang digunakan sebagai pisau bedah guna menggambarkan kontestasi antar negara di dunia dalam politik konfigurasi soal kebijakan pangan. Dalam kerangka demikian, Mc Mahon, misalnya menukil satu contoh persaingan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Masyarakat Eropa (ME) pada 1970 ketika  keduanya satu sama lain menurunkan secara sepihak bea ekspor pangan ke wilayah mereka yang, pada akhirnya, berdampak menaikkan harga pangan di pasaran global, kendati dua blok yang berseteru, dari tindakan tersebut, dikatakan,“…hanya mendapatkan sedikit laba (Halaman, 140).”

Kondisi yang persis sama terjadi ketika sebagian belahan dunia diguncang krisis pasokan beras pada penghujung tahun 2006 sampai 2008, manakala negara-negara penghasil pasokan beras terbesar di dunia memberlakukan pelarangan ekspor beras pada saat permintaan pasar dari negara-negara pengimpor beras di belahan dunia lain sedang mengalami kenaikan. Dengan dalih ‘keamanan pangan dalam negeri’, kebijakan pelarangan ekspor beras, dalam konteks demikian, seperti simalakama yang berpotensi memperlebar nganga jurang ancaman krisis pangan di negara-negara miskin, meningkatkan peluang tindak kriminal penyelundupan lintas negara dan antar benua, serta pemiskinan petani di desa-desa karena sirkulasi penjualan yang terdistrupsi. Mc Mahon, dengan ciamik, menggambarkan situasi tersebut melalui sebuah deskripsi:              

         “… Negara-negara pengimpor pangan secara berhemat akan menghabiskan sediaan mereka dan segera akan kembali masuk pasar dunia ketika mulai lagi mencapai taraf demam. Tingkat harga yang yang luar biasa tinggi jelas akan memicu negara-negara yang tidak memiliki kekayaan atau kekuatan untuk melindungi warga mereka dari gejolak lonjakan-lonjakan harga di pasar dunia. Ada yang menyebut siasat semacam itu adalah kebijakan perdagangan yang ‘mengemis pada tetangga’. Secara harfiah, maknanya tiada lain adalah ‘laparkan tetangga anda’ (Halaman, 151).

Dalam kacamata Mc Mohan, istilah ‘Laparkan tetangga anda’ mengacu sebuah pola dimana telah terjadi silang-sengkarut antar negara adikuasa dalam memprioritaskan ego sektoral dan kepentingan dalam negerinya sendiri untuk urusan pertanian dan pangan, atau dalam istilah lain: proteksionisme yang berlebihan, sehingga menyebabkan negara-negara yang rentan dalam kategori pangan seperti negara-negara di Benua Afrika serta Amerika Latin memasuki tubir jurang ancaman krisis gizi, malnutrisi dan pangan. Guna menghadapi kondisi demikian, dibutuhkan sebuah tatanan ‘kepemerintahan pangan global’ yang dapat mengatur, juga mengkonsolidasikan jalannya lalu-lintas distribusi ekspor-impor pangan dalam satu aturan bersama, pemberian subsidi kepada negara-negara miskin dalam mengatasi persoalan krisis pangan dalam negerinya, serta memberlakukan hukuman tegas kepada negara pelanggar ketika mengimplementasikan kebijakan pangan yang berdampak terhadap ancaman krisis lingkungan serta pangan negara-negara lain.

Inilah yang sesungguhnya mengilhami ‘proposal’ kelahiran awal dari lembaga internasional seperti FAO atau Badan Pangan Dunia sendiri, pada 16 Oktober 1945 silam, pasca perang dunia II berakhir yang memiliki mandat dalam mengatur urusan perjanjian internasional, pembentukan kesepakatan-kesepakatan global, sampai pemberlakuan sanksi kepada negara-negara yang terikat keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuju visi yang sama dalam merespon masalah ketimpangan pangan dan krisis lingkungan. Tetapi sebagaimana perjalanannya yang telah menginjak setengah abad lebih, –ini yang membuat saya tertarik untuk point kedua, dalam analogi yang dibuat McMahon, seperti gambaran Prisoner’s Dilemma (Simalakama Narapidana), FAO sendiri terlihat makin tumpul, bahkan mengalami impotensi menghadapi negara-negara adikuasa seperti Amerika, China, serta Eropa yang nyaris menguasai sebagian besar lalu-lintas perdagangan pangan di dunia dengan seluruh otoritas dan pengaruh yang mereka punya. Di atas semua itu, lantas apa pentingnya bicara soal pangan dalam konteks global, apa saja yang ditawarkan oleh Paul Mc Mahon dalam buku ‘Berebut Pangan: Politik Pangan Baru’ sebagai solusi holistik pada masa-masa yang akan datang, dan bagaimana upaya untuk sampai pada alternatif tawaran tersebut?

***

Dalam aktivitas keseharian, saya telah sedemikian mengonsumsi banyak hal yang meliputi urusan makanan pokok sampai makanan ringan: dengan ragam jenis pengolahan sampai urusan pengemasan, baik yang disediakan secara mentah di pasar-pasar tradisional, atau disajikan secara praktis di warung-warung makan, serta tersedianya aplikasi pembantu seperti teknologi pemesanan cepat yang berkembang di era yang terbilang serba digital.

Pada bagian lain, ketika Ang Tini asyik-masyuk beraktivitas memasak di dapur dalam skala rumah tangga ataupun urusan kerja-kerja komunitasnya; dalam menghidangkan sajian, jelas membutuhkan persiapan sejak dari urusan komposisi, rasa, sampai urusan bahan-bahan masakan utama: bumbu-bumbu, bawang merah, bawah putih, cabe-cabean, serta detail lainnya. Apa yang menjadi aktivitas saya dalam urusan konsumsi makanan, apa yang dilakukan Ang Tini dalam urusan keseharian makanan, juga berikut apa yang terjadi di Kampung Karangdawa terhadap kompleksitas masalah dalam konteks lingkungan dan pangan, sesungguhnya berkait-kelindan dan beririsan langsung dengan apa yang terjadi di bagian kampung lain, juga di belahan dunia lain, dalam waktu yang bersamaan.

Ketika terjadi kenaikan harga beli yang cukup meroket terhadap jenis bahan baku kedelai, yang diolah menjadi tempe-tempean di Kampung Karangdawa, dalam waktu bersamaan, kenaikan itu juga terjadi di pasar-pasar tradisional seperti Harjamukti, Jagasatru, Jakarta hingga di benua Amerika. Terdapat kebijakan politik internasional dalam menentukan dayung naik-turunnya harga yang dilakukan sekalipun untuk sekelas makanan seperti tempe-tempean. Terdapat relasi aktor pangan global yang cukup kompleks, saling mendominasi, serta menciptakan ketimpangan ekonomi dalam urusan makanan dalam keseharian kita.

Akhirnya, secara ontologis, urusan pangan bukan lagi semata urusan bahwa makanan dan minuman tersaji lalu dikonsumsi begitu-saja:urusan pangan merupakan mata-rantai panjang sejak dari produksi, komoditas, sirkulasi hingga konsumsi yang memiliki dimensi politik dalam arena percaturan internasional dalam skala dunia. Kesadaran untuk mengetahui perihal sistem mata rantai makanan yang kita konsumsi berada pada arena percaturan politik pangan global adalah satu kerja intelektual yang, pertama-tama sekali, telah berhasil didesiminasikan oleh Buku Berebut Makan: Politik Pangan Baru.

Naskah asli buku ini berjudul ‘Feeding Frenzy, The New Politics of Food’, ditulis oleh Paul McMahon, dan diterjemahkan oleh Roem Topatimasang. Pada bagian awal, karya ini membentangkan aspek historiografi pangan berikut perkembangan sistem pertanian dari era sebelum masehi sampai terjadinya modernisasi teknologi, yang ditandai dengan terjadinya gejolak revolusi industri pada penghujung abad-18, yang mengubah lanskap model bercocok tanam pertanian di belahan dunia sejak Asia, Eropa, Afrika hingga Amerika. Kebudayaan Cina dianggap sebagai titik awal kelahiran bagi sistem pertanian di dunia, diikuti kebudayaan lain dari Amerika Tengah, Papua Nugini, serta kawasan tropis jazirah Turki sampai Iran. Terutama sekali di Cina, bangunan kebudayaan tersebut berasal hikayat Shennong; Sang Petani Dewa, Kaisar Lima Tanaman Bebuliran. Hikayat awal Shennong memperlihat bangunan yang melandasi sistem pertanian dan pangan melalui penemuan lima jenis bebuliran gandum, padi, kedelai, sorgum dan jewawutan.

Hikayat tersebut, seiring perkembangan berikutnya, meluas dengan kreasi manusia saat  menemukan sistem pendukung lain dalam urusan pangan dan pertanian, seperti sistem irigasi, pembenihan, pupuk tanaman, sampai ekspansi pembukaan lahan-lahan baru. Genderang transisi era modern di Eropa pada abad 18 merupakan titik balik dari era baru sistem pertanian tradisional ke sistem yang disebut-sebut modern. Modernisasi dalam aspek pangan dan pertanian, dalam konteks revolusi modern abad 18, ditandai dengan penggunaan mesin-mesin pendukung seperti traktor, dan lain-lain, untuk aktivitas berladang sampai pola pengangkutan distribusi hasil panen ke antar negara, juga pulau antar samudra.

Narasi pada bagian ditutup oleh Mc Mahon dengan menerangkan bagaimana revolusi modern pertanian menciptakan jurang lebar antara negara-negara kaya dan miskin, terjadi ketimpangan, ketidakadilan, serta konflik pangan justeru manakala antar negara adikuasa berlomba menunjukan taring kuasa dengan menjadikan pangan sebagai komoditas politik kekuasaan mereka, dan puncaknya hal itu terjadinya ketika sistem perdagangan internasional terbentuk.

“Revolusi pertanian modern memang telah membawa beberapa kelompok masyarakat sudah sedemikian jauh melangkah, tetapi nyaris tidak pernah menyentuh beberapa kelompok masyarakat lain. Hasilnya, sampai awal abad XXI saat ini, himpunan karya sistem pangan dunia dibuat semakin ruwet oleh sistem perdagangan internasional (Halaman 27).” 

***

Abad ke-18 dan waktu-waktu sesudahnya, sistem perdagangan internasional dibentuk oleh negara-negara maju dengan ambisi percepatan sirkulasi dan distribusi pasokan hasil bumi dan bahan-bahan makanan dari satu wilayah ke wilayah lain di seluruh benua. Sistem perdagangan internasional diklaim sebagai ‘efisiensi’ yang membantu mobilitas perdagangan antar negara, dengan seluruh piranti pendukung yang menyertainya; bea-bea ekspor dan impor, sistem lalu-lintas barang, perangkat aturan internasional, serta dukungan finansial bagi negara-negara penyuplai utama bahan baku. Dulu, orang-orang dapat sesederhana mengandalkan soal-soal pangan dari hasil bumi di sekitarnya; sekarang, orang-orang dengan satu tombol jari dapat memesan makanan yang berasal dari luar negeri.

Manakala sistem perdagangan internasional jadi tumpuan banyak negara dalam memasok urusan pangan dari dalam ke luar, juga sebaliknya, sistem tersebut juga ternyata membuka celah lebih banyak lagi terjadinya ketimpangan, ketidakadilan dan konflik yang berkepanjangan. Perihal aspek ini, Mcmahon menaja secara lebih ekstensif dua contoh kasus di mana krisis pangan mendorong kontribusi lebih besar dalam segregasi sosial sampai instabilitas politik dalam negeri di suatu negara, misalnya, yang terjadi di Negara Haiti pada 2011, ketika krisis pangan terjadi nyaris meluas di seluruh wilayah di sana kemudian menyulut terjadinya konflik politik, kekerasan, sampai memaksakan Perdana Menteri mundur dari jabatannya. Pada bagian lain, situasi yang sama terjadi di Mesir pada tahun yang sama, dengan pola yang sama, ketika krisis pangan tak kunjung dapat direspon dengan optimal yang akhirnya memaksa mundur presiden berkuasa saat itu, Mubarak, mundur dari jabatannya.

Sistem perdagangan internasional yang bertungkus-lumus dengan seluruh relasi kuasa aktor-aktor rezim pangan global, pada sisi lain, tidak kunjung mampu mengatasi masalah kekurangan gizi di dunia, seperti catatan mutakhir oleh Badan Pangan Dunia, selama tahun-tahun 2019 dan sesudahnya terdapat, peningkatan orang-orang di dunia yang menderita kekurangan gizi dari 870 juta menjadi 1 miliar jiwa. Angka tersebut terbilang fantastis, dan mencengangkan bisa terjadi justeru, lagi-lagi, ketika negara-negara maju menunjukkan kemewahannya dalam urusan konsumsi pangan sebagai sekadar gaya hidup. Aspek-aspek tersebut-lah yang memicu penyebab terjadinya masalah krisis pangan di dunia, selain aspek penyebab lain –yang diteropong oleh Mc Mahon dalam ulasan-ulasan berikutnya, seperti meningkatnya penggunaan bahan hayati, masalah ambat batas ekologis, lonjakan harga pangan dunia, ancaman perubahan iklim, ledakan jumlah penduduk di seluruh dunia, pelarangan ekspor, peningkatan jumlah impor, belanja dan konsumsi gila-gilaan, pencaplokan lahan secara masif oleh negara-negara adikuasa serta korporasi multinasional ke negara-negara miskin dan terbelakang. Akhirnya, krisis pangan kini berada di depan mata kita semua.

***

Pada masa-masa yang akan datang, dunia bergerak secara penuh centang-perenang, tak ada bisa dilakukan kecuali tindakan perubahan itu sendiri: kecil, berjangka, dan menjangkar sebanyak mungkin kebermanfaatan. Dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang yang berjalan, krisis lingkungan dan masalah pangan (perubahan iklim, bencana pandemi, pencaplokan lahan besar-besaran oleh korporasi multinasional, kebijakan negara yang sarat kepentingan oligarki, dan seterusnya) adalah gambaran nyata yang lebih riil daripada sekadar perhitungan deret angka dalam statistik semata.

Situasi demikian bukannya tanpa solusi minus harapan, ketimbang karya-karya akademisi lainnya yang meramal masa depan dengan buruk –seperti misalnya Karya Lestern E. Brown (2011), World on the Edge, How To Prevent Environmental and Economic Collapse, persis pada area titik inilah kekuatan utama buku karya Paul McMahon ini berada dan terpetakan, solusi alternatif tersebut, meliputi: “…pertama, membantu para petani kecil di negara-negara miskin dan berkembang untuk menghasilkan lebih banyak pangan. Tindakan tersebut, menurut Mc Mahon, lebih sebagai upaya untuk memutar suatu daur proses pembangunan perdesaan dan perkotaan yang lebih tangguh. Kedua, pentingnya segera beralih ke sistem pertanian yang sesedikit mungkin menggunakan sumberdaya tak terbarukan, sesedikit mungkin menghasilkan pencemaran, dan meningkatkan kesuburan lahan-lahan pertanian, tetapi tetap mampu menghasilkan jumlah bahan pangan yang cukup (halaman 322-333).”

Apabila mengacu pada kedua tawaran alternatif McMahon tersebut, terutama pada poin kedua, apa yang sesungguhnya telah dilakukan oleh kawan-kawan Sekolah Alam Wangsakerta bersama jaringan petani muda di desa-desa di kawasan Cirebon dan sekitarnya sejalan atau bahkan, menurut hemat saya, telah melampaui apa disebut dalam pengertian McMahon sendiri dalam soal-soal ‘memutar daur proses pembangunan di desa’. Ini yang ditunjukkan melalui kerja-kerja dalam memetakan dan mengidentifikasi masalah-masalah pangan di sekitar mereka, menciptakan langkah alternatif baru dalam pendidikan anak muda dan remaja dalam kecukupan informasi, pertanian, pangan serta lingkungan. Hasilnya, sistem kerja komunitas itu mulai terbentuk secara simultan dan terorganisir. Jaringan kerja yang terbentuk oleh mereka, juga memainkan peran strategis dalam memutar rantai pasokan produksi sampai distribusi dengan segala keterbatasannya, untuk menawarkan suatu alternatif baru dalam penggunaan bibit organik, mengolah tanah, sampai proses penjualan yang diperuntukkan bagi kalangan yang paling mungkin bisa dijangkau.

Satu contoh, ketika seorang Petani bernama Aziz, Sobirin, Sukarna, menanam padi organik, dan mendistribusikan penjualannya kepada komunitas-komunitas terdekat di sekitarnya  itu adalah bagian strategis jangka panjang dalam mengimplementasikan langkah-langkah alternatif ‘melawan’ sistem pangan global yang cenderung timpang. Sebagai kontribusi di level individu, langkah membeli beras organik dari petani-petani seperti Sobirin, Aziz, Sukarna, pertimbangannya bukan lagi apakah harga beras yang ditawarkan tersebut ‘lebih mahal’ ketimbang harga besar di pasaran pada umumnya, sebagaimana tak pernah terbesit sekalipun untuk mengatakan harga yang mahal ketika membeli makanan siap saji di resto-resto mewah. Langkah membeli padi-padi organik ataupun jenis kebutuhan lain dalam urusan pangan dari komunitas-komunitas petani di jaringan desa adalah bagian kecil yang berdampak pada perubahan sosial secara jangka panjang. Tak ada waktu lagi untuk menunggu keputusan politik pejabat negara yang ‘tepat’, karena satu-satunya sumber masalah pangan adalah semrawutnya birokrasi di negara ini.  Apa yang telah dilakukan oleh petani-petani seperti Sobirin, Aziz, Sukarno, juga petani-petani yang terhubung dalam jaringan kerja lain di Wangsakerta, tinggal mendorong pada langkah berikut, guna memastikan alternatif ketiga yang ditawarkan Mcmahon,…”Para Investor keuangan dapat menyokong dua tujuan utama tersebut dengan menanamkan modal mereka dalam pengembangan aset-aset dan usaha-usaha di sektor nyata ketimbang berjudi dengan harga-harga di pasar maya (Halaman 333).”

Sungguhpun demikian, kehadiran buku ini di tangan pembaca sekalian memanglah memberi sebuah informasi dan pengetahuan yang sangat panoramik, apalagi karya ini diterjemahkan serta disunting oleh orang yang memang memiliki keahlian dalam bidang ini: Roem Topatimasang. Kekuatan yang sekaligus juga menjadi kelebihan karya ini terdapat pada bagaimana penulis buku menyajikan ketajaman data dengan narasi yang sangat kuat, baik dari bagian awal sampai menjelang pembahasan akhir halaman dalam buku. Pengetahuan-pengetahuan tersebut sangatlah membantu dalam melihat, mengidentifikasi, menganalisa problem manusia dalam urusan sistem pangan dan pertanian, secara historis juga kontemporer. Dan yang terpenting adalah tiga tawaran alternatif dalam merumuskan kerja-kerja untuk mengatasi krisis pangan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Akan tetapi justru di situlah kekurangannya, penulis buku tidak cukup memberikan penjelasan yang cukup panoramik dalam mendeskripsikan keterangan-keterangan dalam sub-bagian pembahasan ‘cara-cara lebih memberi makan dunia’. Kritik terhadap buku ini terutama diarahkan pada bagian tersebut, di mana penulis; Paul McMahon, tidak cukup memberikan data-data memadai mengenai tiga alternatif sebagai solusi atas krisis pangan dunia yang telah berjalan, berdasarkan pengalaman banyak komunitas petani di dunia, di mana saja, kapan, oleh siapa, dan prosesnya seperti apa bagaimana. Padahal keterangan tersebut sangatlah membantu untuk mempertajam arah soal bagaimana ‘jalan politik pangan baru’ itu: politik baru pangan dalam melawan ketimpangan. []

*) Omen Bagaskara adalah pendamping warga belajar Sekolah Alam Wangsakerta dibidang tulis menulis. Dia juga pegiat di Sofie Institute, sebuah komunitas belajar anak-anak muda di Cirebon khususnya di isu keberagaman


Bagikan

- Kembali ke Arsip Catatan Lapangan 2017 - 2021

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru