Petani harus bisa mandiri dan percaya diri
Soekarna (23 tahun) dan Arifin (24 tahun) adalah dua pemuda asal Desa Cisaat, Kabupaten Cirebon. Selama enam bulan belakangan ini keduanya berjibaku mengolah lahan pertanian seluas 700 m2 dekat Bumi Perkemahan Pancasila Cisaat. Mereka berdua menjadi istimewa karena sangat jarang pemuda atau lulusan perguruan tinggi yang mau bertani. Bukan sekedar bertani, mereka mengelolanya secara organik, suatu hal yang belum umum dilakukan di Kabupaten Cirebon. Lebih daripada itu mereka mencoba mengembangkan tekhnologi pertanian sederhana.
Menjadi petani bukanlah impian bagi para pemuda masa kini. Petani identik dengan pekerjaan yang melelahkan dan kotor. Para orangtua juga menyarankan anaknya untuk tidak menjadi petani. Soekarna misalnya, bapaknya menginginkan anaknya punya profesi lain bukan petani, karena pekerjaan tani itu melelahkan. Namun demikian Soekarna dan Arifin tetap tergerak untuk menjadi petani meskipun bukan tidak mungkin mereka punya profesi lain mengingat mereka lulusan perguruan tinggi.
“Sejak kecil hingga jadi mahasiswa saya sudah sering diajak ke sawah. Dari hanya sekedar bermain hingga membantu orangtua. Orangtua saya adalah petani. Sedikit-sedikit saya mengetahui cara menanam, merawat tanaman, memanen hingga pengolahan lahan paska panen. Dari situlah saya mulai tertarik untuk belajar lebih dalam mengenai pertanian”, cerita Soekarna pada penulis.
Soekarna sebenarnya ingin kuliah di jurusan pertanian, namun karena kurang biaya ia hanya bisa kuliah di jurusan lain yang kebetulan menawarkan beasiswa penuh. “Saya resah melihat petani di kampung saya karena sering gagal panen, tanaman terkena hama. Yang membuat saya heran, petani selalu hanya bisa pasrah, dan menganggap hal tersebut adalah takdir dari Allah. Mereka pasrah dengan keadaan, tidak mau mencari penyelesaian masalahnya. Oleh karena itu, saya tergerak belajar pertanian untuk memperbaiki pertanian di kampung saya”, imbuhnya.
Hampir sama dengan Soekarna, orangtua Arifin dulunya juga Petani tetapi sekarang sudah meninggalkan pertaniannya. Sebagian besar lahan yang dimiliki orangtuanya disewakan ke orang lain. Arifin termotivasi untuk menjadi petani karena melihat sumberdaya yang miliki masyarakat Cisaat tidak dimanfaatkan dengan baik. Kebun, pekarangan seperti halnya lahan yang dimiliki keluarganya sendiri dibiarkan terbengkalai. Dia menyadari hal tersebut terjadi karena para pemuda seperti dirinya enggan menjadi petani, padahal orangtua mereka dulunya adalah petani.
Saaat ini Soekarna masih sibuk sebagai mahasiswa semester 7 jurusan Ekonomi Syariah Institut Studi Agama Islam (ISIF) Cirebon, sementara Arifin adalah lulusan jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang sudah bekerja dikantor swasta. Kedua anak muda ini juga duduk sebagai pengurus Karang Taruna Desa Cisaat Kabupaten Cirebon.
Mereka tidak kenal lelah. Di sela-sela kegiatan kuliah, kerja atau kegiatannya sebagai pengurus Karang Taruna di desa, mereka selalu menyempatkan waktu mengurus tanamannya dan melakukan berbagai percobaan inovasi pupuk organik dan tekhnologi pertanian yang sederhana. Sesekali mereka belajar pertanian di laboratorium pertanian Wangsakerta. Kegiatan mereka masih ditambah dengan kegiatan mengorganisir baik anak muda maupun orang tua untuk menanam secara organik. Mereka melakukan semua kegiatan tersebut karena ingin mewujudkan visi dalam lima tahun ke depan petani Cisaat telah mengolah pertanian secara secara organik, mandiri dan percaya diri.[]