Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

Menyuling Sampah Organik (1)

Oleh: Wakhit Hasim

Praktik membuat alat destilasi

Masalah ledakan penduduk pasca reformasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi hunian dan industri sejak tahun 80an sudah tidak masuk akal bagi sistem kehidupan petani. Jika petani sehat minimal harus memiliki tanah garapan seluas 2 ha per keluarga, kini 70% petani di jawa adalah gurem. Yang punya lahan tinggal sepetak kecil, dan banyak yang tak punya lahan alias harus sewa. Sementara, industrialisasi itu seperti kandang kerbau galak yang mbedhat kabur mengejar tuannya. Dan KB dianggap kuno. Pemerintah ya sibuk dengan upaya mengejar output kegiatan, sebagian sibuk nakal supaya korupsi tidak kelihatan melalui laporan administrasi lengkap terhadap kegiatan pembangunan. Peduli hasil? Mimpi…

Lalu harus kepada siapa petani berharap? Pupuk kimia bersubsidi berkurang, harus mikir sendiri. Antisipasi lahan tetap bertahan dan sehat, harus upaya sendiri. Meningkatkan kemampuan membaca tata ruang ekologis pensuplai nutrisi dan energi, harus mikir sendiri. Merayu anak-anak muda yang pingsan rebahan dan mengira medsos dan gawai itu hakikat hidup, ya harus sibuk sendiri. Berharap kepada diri sendiri, siapa lagi!? Tentu saja juga kepada kerelaan Pemberi Hidup melalui belajar rahasia2 ciptaanNya ini..

Anak-anak Wangsakerta lahir dari konteks ini, sama seperti yang lain. Anak-anak dari kampung sub urban, yang ibarat di pinggir jurang peradaban. Didesak oleh raksasa kerbau itu, dan menepi di gigir juang tandus yang semakin kehabisan sumber air karena kerusakan ekosistemnya. Mereka belajar mengenali tanah sebagai media dan ruang kehidupan. Bagaimana menyuburkan kembali tanah yang berkeasaman tinggi, bagaimana memulihkan ekosistem tanah sehingga biota tanah kembali hidup, mereka pelajari. Bagaimana menanam, memelihara dan memanen, mereka riset dan kembangkan. Namun, setelah menanam, hitun-hitungan produksi masih jauh dari efektif.

Temu jaringan petani organik se wilayah 3 juga menemukan aapek kesulitan dalam hal ini. Petani ragu beralih ke sistem organik karena takut rugi, sementara lahan kecil itu jaminan hidup, harus pasti. Riset percobaan di antara mereka membuat keberhasilan yang bagus. Bahwa sistem organik tidak kalah, malah lebih bagus hasilnya, bahkan di periode pertama tanam. Namun petani tetap tidak mau, karena tak ada waktu membuat pupuk. Untuk membeli pupuk organik tidak tersedia banyak toko, selain itu mahal. Maka di sini butuh sentra pupuk organik yang murah dan praktis.

Praktik membuat alat destilasi

Hal ini dapat dibangun oleh komunitas petani di berbagai tempat. Namun poktan dan gapoktan banyak yang dulu dibentuk pemerintah dengan motif penyaluran bantuan, menyisakan masalah ketidak efektifan organisasi sampai konflik yang tak berkesudahan. Sistem individualis dgn upaya sistem sewa tenaga komersial tak terelakkan. Berat.Petani harus mencari banyak cara untuk memulihkan diri dan mengembnagkan teknik dan teknologi yang memudahkan siatem kerja mereka secara sehat. Bagaimana?

Setelah mempraktikkan siatem permentasi untuk membuat pupuk cair organik serta pestisida, kini anak2 Wangsakerta memplajari cara lain yaitu penyulingan sampah organik. Penyulingan adalah teknik mengubah asap hasil pembakaran bahan organik menjadi zat cair. Asap ini berasal dari tabung reaktor yang berisi sampah organik yang ada di atas tungku pembakaran. Tabung reaktor ditutup dan asap yang keluar dislaurkan ke tabung kedua, tabung kondensor yang berisi air, melalui pipa logam. Pipa logam ini menembus tabung kondensor ke luar tabung terbuka. Pipa yang mengalirkan asap dari tabung reaktor pertama diberi lubang dan meneteskan zat cair pertama, berujud tar, cairan lengket. Setelah pipa melalui tabung kedua, zat cair keluar dari sana berupa pupuk organik. Asap yang masih ada dapat dialirkan lagi ke tabung kondensor berikutnya melalui pipa, dan tetesan zat cair ketiga dari asap ini akan berupa zat pengawet makanan. Kok bisa?

Ini yang dalam seminggu di akhir bulan November dipelajari anak2 Wangsakerta. Zat cair hasil penyulingan memiliki struktur kimia berukuran nano yang sangat lembut dan terserap mkasimal ke dalam serat tanaman, bahkan bakteri dan virus tak bisa melawan. Maka dia bisa menjadi pupuk organik, pestisida pembunuh hama, dan pengawet makanan. Makanan tidak awet kerena ada proses deformasi oleh bakteri bukan? Jika bakteri berhenti, jasat apapun akan awet tak terurai. Bagi petani, ini penting untuk menghemat biaya pembelian pupuk karena sifatnya sangat hemat. Jika pupuk cair 200 cc (satu gelas aqua) bisa dicampur satu tangki air (16 lt), maka air suling hanya butuh 50 cc saja. Kalau ada cairan satu jirigen 35 lt, bisa satu hektar tanaman teratasi pupuknya.

Hari ini anak-anak akan menginstalasi alat penyulingan besar dari bahan tong dan pipa besi. Dipimpin oleh Izom Udden yang beberapa hari ini mencari bahan-bahan, anak-anak yang telah sedikit diajari teknik las dan juga latihan prinsip kerja penyulingan memakai kaleng roti minggu lalu akan diuji.

Bismillah… Cirebon, 06 Des 2020


Bagikan

- Kembali ke Arsip Catatan Lapangan 2017 - 2021

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru