MENGINDENTIFIKASI PETA PERSOALAN PANGAN KITA
ULASAN BUKU JEJAK PANGAN: SEJARAH, SILANG BUDAYA, DAN MASA DEPAN
PERESENSI: BUSTOMI AFIF *)
Judul Buku : Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan
Masa Depan
Penulis : Andres Maryoto
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Halaman : 249 Halaman
Cetakan : Cetakan Pertama, April 2009
ISBN : 978-979-709-413-3
Pendapat tersebut diungkapkan Andreas Maryoto pada 2009, melalui bukunya yang berjudul, “Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa depan (Halaman 101). Saat ini; tahun 2021, pendapat tersebut masih relevan, sebab situasi yang dihadapi dalam persoalan pangan di Indonesia tidak ada yang berubah secara signifikan, atau justeru kian memburuk. Setiap tahunnya, harga pupuk melesat naik, harga padi atau beras tak pernah stabil. Inilah yang membuat petani mendapat keuntungan kecil, sehingga situasi tersebut menyebabkan petani di tanah air enggan berharap anaknya kelak meneruskan profesinya sebagai petani.
Harga jual beras atau padi berbanding lurus terbalik dengan harga beli pupuk adalah masalah umum yang dihadapi oleh petani. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir saja, harga beli pupuk urea mengalami rata-rata fluktuasi harga pada angka 6.500 (enam ribu lima ratus). Sebagai contoh yang terjadi di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, HET atau harga eceran tertinggi sesuai aturan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2021, yang awalnya berada pada kisaran harga Rp. 1800/kilo kini mengalami kenaikan harga menjadi Rp. 2.250/kilo. Diurut lagi ke belakang, pada 2010, harga eceran pupuk urea berada pada kisaran harga Rp. 1600/kilo, yang sebelumnya berada kisaran harga Rp.1200/kilo. Pada saat yang bersamaan, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2010-2021 mencatat harga jual gabah mengalami ketakstabilan harga yang kian munurun: untuk harga gabah kering panen (GKP) sekadar mengalami kenaikan 931, 81/kilo.
Di luar masalah pupuk, petani menghadapi segudang masalah lain seperti membengkaknya pengeluaran untuk pembiayaan membajak sawah, pestisida, upah buruh, pajak dan lain-lain. Di tambah lagi, kebijakan pemerintah Indonesia yang gemar membuka keran impor beras secara besar-besaran ketika masa panen tiba, yang secara langsung berdampak pada penurunan harga jual gabal lokal. Akhirnya, kompleksitas masalah dalam pertanian di Indonesia berdampak secara struktural terhadap krisis regenerasi petani yang terjadi dewasa ini. Ketika regenerasi petani terjadi, maka produktivitas pertanian muncul di depan mata, dan genderang krisis pangan di Indonesia tinggal menunggu waktu.
Penurunan produktivitas pada sektor pertanian, terutama sekali padi, merupakan sinyal terjadinya krisis pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi padi pada 2009 sebesar 64, 40 Juta ton Gabah Kering Giling (GKG), sedangkan produksi padi pada 2020 sebesar 54, 65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Itu artinya, produksi padi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir mengalami penurunan. Padahal pangan adalah salah satu dari tiga kebutuhan vital makhluk hidup selain air dan energi. Maka seperti yang diamati oleh Andreas, persoalan krisis pangan lebih urgen untuk ditanggapi daripada krisis-krisis lainnya. Pada saat masalah ini disepelekan, maka semua lapisan sosial akan terkena dampaknya, terutama para petani yang hidup di desa-desa atau kampung-kampung di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah upaya secara lebih komperhensif dalam melihat akar masalah guna memitigasi krisis pangan di masa depan.
Buku karya Andreas Maryoto ini cukup membantu untuk melihat, memetakan serta menguraikan masalah-masalah dalam dunia pangan. Dalam catatannya tersebut, ia memaparkan bagaimana alternatif dalam menjawab berbagai persoalan pertanian, dibutuhkan salah satunya, melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Menurutnya bioteknologi telah menawarkan solusi. Seperti China yang bergerak dengan pilihan mengembangkan padi transgenik yang memiliki produktivitas tinggi dan tahan terhadap Hama. Sementara Negara India mengambil langkah untuk menjawab masalah kemarau panjang yang mereka alami dengan membeli alat pemantau iklim dan cuaca yang lebih akurat sehingga bisa memastikan saat penanaman yang tepat. Pada sisi lain, India juga mengembangkan benih padi yang tahan terhadap kemarau dan Kadar garam tinggi, para peniliti proyek di sana diharapkan juga bisa menghasilkan benih padi yang tahan terhadap sejumlah penyakit dan hama tertentu. Pada bab pertama (Halaman 3-34), buku ini menceritakan sejarah perjalanan pangan dan perjalanan manusia serta keterikatan di antara keduanya. Dari mulai misteri rempah-rempah yang disembunyikan pedagang-pedagang Arab hingga kemudian rempah-rempah ditemukan di pulau rempah-rempah seperi wilayah Maluku oleh penjelajah-penjelajah asal Eropa, sampai pengeruh India terhadap masyarakat Jawa terkait teknologi penanaman padi.
Pada bab kedua (Halaman 43-84), penulis buku ini lebih lanjut menyajikan dengan rinci proses silang-budaya kuliner nusantara khususnya jawa dengan Eropa, China, Arab, dan India. Kuliner suatu daerah yang malah mendapat tempat dan terjaga kekhasannya di daerah lain seperti Bika Ambon oleh-oleh khas Medan, kemudian pecel di Kereta Api Rantau-Medan Sumatera. Selanjutnya pembaca diajak menelusuri pengetahuan sejarah dari Serat Centhini, yang di dalamnya, ditemukan berbagai kuliner dan olahan pangan dengan cara memasaknya yang berbeda-beda. Yang paling menarik bagi saya sendiri ketika membaca dan mengulas buku ini adalah ketika Andreas mengajak seluruh pembaca bukunya agar menyadari bahwa makanan-makanan desa adalah makanan kita sesungguhnya. “Roti, Pizza, mentega, dan lain-lain adalah makanan asing di lidah yang “dipaksakan” diterima karena gengsi”(Halaman 76)
Problem pangan dan pertanian di Indonesia semakin kompleks lagi dengan angka pertumbuhan jumlah penduduk yang meledak, konflik penguasaan lahan, kepemilikan lahan, pergeseran lahan pertanian menjadi gedung-gedung industri, serta ketergantungan pada pupuk kimia. Yang patut dipertanyakan, adakah insinyur-insinyur pertanian dan lembaga-lembaga riset pangan yang ada di Indonesia mampu merekomendasikan sebuah solusi yang lebih dari sekadar holistik di tengah sektor pertanian Negara lain yang mendapat dukungan bioteknologi dan juga tantangan sektor pertanian yang makin rumit. Di atas semua itu, kebijakan dan keputusan politik pemerintah yang berpihak pada petani juga menjadi faktor kunci guna menyelesaikan masalah dan tantangan pertanian di masa depan. Satu waktu, saya mengikuti sebuah diskusi Webinar, “Meramal Masa Depan Jagad Agraria dan Kaum Tani Nusantara”, yang diselenggarakan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST), Roem Topatimasang, salah satu narasumber dalam kegiatan itu mengungkapkan bahwa kemandirian pangan harus terus digalakkan. Roem berkata, “Petani harus memproduksi hasil pertaniannya sendiri untuk kebutuhan sendiri.”
Pernyataan Roem Topatimasang tersebut seperti menemukan benang-merahnya dalam bab-bab selanjutnya buku Andreas Maryoto ini. Pada bab ketiga (Halaman 93-167), para pembaca diajak melihat temuan fakta perihal pentingnya persoalan pangan bagi kehidupan seluruh lapisan sosial di manapun. Dimulai sejak armada penjelajah, Negara, Pemerintah, Atlet Olimpiade, hingga rakyat biasa. Andreas Maryoto menjelaskan bahwa persoalan pangan menjadi faktor seorang atlet menjuarai olimpiade, persoalan pangan dapat mempengaruhi kewibawaan seorang raja, menentukan stabilitas dan kesejahteraan sebuah daerah yang menjadi tempat persilangan lalu-lintas perdagangan dunia seperti kemasyhuran Aceh dulu saat dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, kemudian memperkokoh ataumemperlemah kekuasaan pemimpin di sebuah Negara, mengakibatkan demoralisasi prajurit perang, hingga menjadi algojo malaikat Izrail bagi komandan Perang, awak kapal, serta kaum Mustadh’afin.
Bab keempat (Halaman 175-225), bab terakhir dalam buku ini, menyuguhkan sebuah fakta yang akan mengakibatkan dunia mengalami krisis pangan. karena lahan pertanian yang semakin menyempit, penggunaan komoditas pertanian khususnya biji-bijan untuk kepentingan produksi bahan bakar juga menjadi faktor yang bisa mengakibatkan krisis pangan. Bahwa petani mengalami pemiskinan sejak dulu itu nyata. Sejak zaman feodal sampai pertengahan abad ke-19, sejak tanam paksa diberlakukan oleh Gubernur Jendral Johannes Ven Den Bosch hingga saat ini, di mana petani dimiskinkan oleh spekulan beras, spekulan pupuk, dan juga spekulan benih. Pemerintah dalam hal ini seharusnya bisa menekan pengaruh spekulan-spekulan itu. Membiarkan para spekulan itu tak lebih membunuh secara perlahan rakyat sendiri dan membiarkan mereka merongrong kekuasaan.
Alternatif kebijakan yang selama ini diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia bagi mitigasi krisis pangan cenderung karitatif, mengamputasi solusi dari akar masalah sesungguhnya, bahkan birokrasi pemerintah justeru merupakan sumber masalah itu sendiri. Untuk merespon pemiskinan struktural yang dialami petani, yang terjadi negara meresponnya dengan penyediaan lapangan pekerjaan melalui perindustrian atau pemerintah memberikan berbagai bantuan sosial kepada rakyat-rakyat yang dinilai tidak mampu. Namun tetap saja rakyat yang tidak mampu, yang sebagian besarnya adalah para petani masih jauh dari kondisi sejahtera. Dengan pemiskinan dan tidak menjaminnya hasil dari pertanian, maka pekerjaan yang memenuhi kebutuhan pangan tersebut akan semakin ditinggalkan, lumbung-lumbung bulog akan kosong. Pada akhirnya semua akan berperang untuk memperebutkan pangan.
Semestinya Negara beserta perangkatnya seperti militer, birokrasi, hukum, dan kebijakannya lebih melindungi usaha-usaha tani. Susan George dalam bukunya yang berjudul, “Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan,” menyebutkan, “Tidak ada kelaparan atau krisis pangan kalau ada keputusan politik yang tepat dari pemerintah yang berkuasa”. Tetapi tidak sekadar keputusan politik dari pemerintah saja, saya kira. Peran-peran komunitas sosial dalam merespon krisis lingkungan, energi dan pangan juga amatlah penting. Pendidikan alternatif yang membentuk kesadaran kritis terhadap orang-orang muda dan remaja di kampung-kampung dan di desa-desa agar mau bertani kembali, meningkatkan kemampuan mereka dalam proses alih-teknologi pertanian, serta usaha-usaha lain yang dapat meneguhkan jati-diri bangsa ini yang peduli soal masalah pangan. Hal Inilah yang saya lihat tidak cukup mendapat pembahasan dalam buku ini. Kendati begitu, buku ini sangat membantu untuk mengidentifikasi persoalan pangan secara lebih deskriptif dan sistematis, yang dapat bermanfaat untuk melihat alur sejarah kita dalam soal pangan dari dulu sampai sekarang yang ‘tidak baik-baik saja’.[]
*) adalah peserta program Ngenger Sekolah Alam Wangsakerta 2021