Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

<strong>Khalayak Yang Tercerabut Dari Akarnya</strong>

Oleh: Bustomi Afif

Segalanya tercerabut, batang pinang terpisah dengan kulit pelepah sagu, anyaman daun sagu tidak lagi menjadi atap rapuh yang setiap empat bulan sekali harus diganti dengan yang baru, halaman atau kebun baru, singkong, jagung, kacang tanah,  atau mangga dan pepaya tercerabut oleh tanaman kembang, pakaian diseragamkan, pikiran diseragamkan, bersama dengan bangunan yang dirobohkan mereka tercerabut dari realitasnya. Tidak lagi mencabut rumput, memperbaiki pagar, melabur dinding, menanam tanaman baru, memetik yang berbuah, mengumpulkan kayu pagar baru, merajut atap dan dinding baru, dan meruncing kayu pagar baru. Kegiatan itu tercerabut, digantikan dengan kegiatan menghafal, menghafal kata-kata dan istilah-istilah yang asing yang bahkan tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

Sebuah romantisme yang ditulis Roem Topatimasang dalam bukunya “Sekolah Itu Candu”, buku best seller yang pertama kali terbit pada 1998 dan sudah dicetak 14 kali, 8 kali oleh penerbit Pustaka pelajar dan 6 kali oleh penerbit INSISTPress, pada bagian ke- 8 Cetakan Ke-6 yang diterbitkan oleh INSISTPress tahun 2020 “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”, Roem menggambarkan bagaimana pendidikan zaman dulu dekat bahkan sangat dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Penulis memang tidak menuliskan secara utuh proses belajar mengajarnya, akan tetapi ada hari-hari atau momen-momen tertentu untuk para murid berinteraksi langsung dengan lingkungannya, seperti yang diceritakan penulis tentang sekolah yang diliburkan karena musim panen raya. “Tiap enam bulan adalah musim panen raya: panen jagung huma atau padi sawah. Ini berarti libur sepekan penuh. Sekolah memang tak punya lahan ladang atau sawah sendiri, tetapi sekolah bertugas mengerahkan dan mengatur murid-muridnya untuk disebar ke ladang dan sawah penduduk” (Halaman 65).

Tidak hanya itu, murid-murid sekolah di sekolah rakyat itu pun mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana memperbaiki pagar yang rusak, merajut atap, menanam tanaman, dan sebagainya yang kegiatan itu dilakukan setiap hari sabtu atau tiap empat bulan sekali sehabis ulangan umum seluruh kelas. kegiatan tersebut secara tidak langsung memberi keahlian atau keterampilan bagi murid untuk secara mandiri menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah mereka. Lalu bagaimana dengan pendidikan hari ini?

Pendidikan hari ini, mungkin sama dengan sekolah rakyat yang sudah rata dengan tanah itu, sama-sama menjadi tempat untuk seorang murid belajar tentang alam dan lingkungannya melalui mata pelajaran yang mereka terima atau dengan mengikuti ekstrakulikuler sekolah yang ada, seperti Pramuka, keterampilan palang merah, dan lainnya. Namun apakah kemudian dari pengetahuan tentang alam yang didapat dari mata pelajaran atau ekstrakulikuler itu mampu membuat murid untuk survive dilingkungannya sendiri? Membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dilingkungan sekitarnya?

***

Tiga bulan lebih di Wangsakerta, saya dihadapkan pada suatu kondisi lingkungan khususnya pertanian yang carut marut, jauh dari kelayakan, dan produktifitas rendah. Dari mulai ketidak beraturannya batas-batas lahan, pengaturan perairan, sampai pada cara dan teknologi yang digunakan.

***

Tiga bulan lebih di Wangsakerta, saya dihadapkan pada suatu kondisi lingkungan khususnya pertanian yang carut marut, jauh dari kelayakan, dan produktifitas rendah. Dari mulai ketidak beraturannya batas-batas lahan, pengaturan perairan, sampai pada cara dan teknologi yang digunakan.

Berpuluh-puluh tahun para petani dengan usia separuh abad lebih di Dusun Karang Dawa Desa Setupatok Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon bertahan untuk menggarap lahan pinggiran danau Setupatok yang mempunyai masalah yang sangat kompleks.

Hasil pertanian bukan menjadi sebab mereka bertahan, karena jika dihitung dari tenaga dan materi yang keluar itu tidak sebanding, waktu dan tenaga mereka banyak terbuang, uang mereka habis untuk membeli pupuk yang mereka bilang mahal.

Pada suatu kesempatan saat mencari rumput untuk pakan kambing, saya bertemu dengan salah satu petani yang mengatakan bahwa ia baru saja memberikan pupuk ke tanaman padi yang ia beli seharga 400 ribu dan saat ditanya hasil panennya beliau menjawab 1 ton pun tidak di dapat. Belum lagi biaya untuk membeli pestisida dan lain sebagainya, berapa biaya yang mereka keluarkan dalam satu musim tanam?

Jadi saat ditanya kenapa mereka memilih bertahan jawabannya lebih kepada menghabiskan sisa umur dan memanfaatkan tanah yang disediakan oleh alam atau kawan-kawan santri menyebutnya dengan Ihyaul Mawat. Sungguh tindakan yang lebih mulia dibanding santri-santri yang mengkaji ilmu tersebut namun tidak mengamalkannya.

Berpuluh-puluh tahun juga mereka, petani karang dawa, tidak mendapat perhatian dari pemerintah atau dinas terkait. Saat salah satu Ketua RT dusun Karang Dawa berinisiatif untuk membentuk kelompok tani bagi mereka, dinas terkait dalam hal ini Balai Penyuluhan Pertanian tidak bisa membantu, menurut mereka petani Karang Dawa tidak menggarap lahan sendiri melainkan lahan pemerintah. Mereka (BPP) merekomendasikan petani Karang Dawa bergabung dengan Kelompok Tani wilayah lain atau memebentuk Taruna Tani. Lalu Apa bedanya membuat kelompok sendiri dengan menggabungkan diri bersama kelompok tani lain? Apa bedanya kelompok tani dengan Taruna Tani jika yang dipermasalahkan itu status tanah garapan? Lalu Petani dengan usia setengah abad lebih menjadi anggota Taruna Tani?

Taruna Tani adalah kumpulan petani muda dari berbagai kecamatan yang berusia maksimal 22 tahun. Taruna Tani untuk petani Karang Dawa? Mana pemudanya? wong generasi petani Karang Dawa pun belum ada yang muncul, yang berminat untuk meneruskan pertanian orang tuanya.

Banyak faktor yang membuat generasi mereka (petani Karang Dawa) sama sekali tidak melirik soal pertanian ini. Paling fundamental adalah pendidikan tentang segala hal terkait pertanian itu sendiri, baik pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya atau pendidikan yang mereka dapatkan dari sebuah Lembaga pendidikan bernama Sekolah.

Bahwa sejatinya pendidikan adalah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi tidak terlihat adanya jika melihat kasus diatas. Mana peran santri yang mengkonsumsi pengetahuan tentang ihyaul mawat? pengetahuan apa yang dikonsumsi orang dari pemerintah terkait atau Balai Penyuluh Pertanian dan  atau generasi petani itu sendiri? Hingga mereka tidak menyadari lingkungannya sendiri, disinherited masses, terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.

Sekolah memang sudah bukan lagi miliknya el pobresiado, kaum yang terlunta-lunta, rakyat jelat! Lihat saja, nama ‘Sekolah Rakyat’ pun dihapuskan. Sebaliknya, sekolah kini menjadi milik dan alat dari satu kekuatan raksasa yang-atas nama dan dengan lebel-label ‘demi pembangunan, industrialisasi, modernisasi, globlisasi’ bukan cuma mengajarkan bagaimana caranya merampok habis sumber daya kebendaan komunal yang dimiliki dan sudah berabad dilestarikan oleh para wong cilik setempat (hutan dan tanah ulayat, hasil bumi, dan sebagainya); tetapi juga mengajarkan bagaimana caranya menjarah sumberdaya kerohanian pribadi maupun kolektif dari orang-orang kampung yang ugahari: pikiran, perasaan, kesadaran, martabat, dan harga diri mereka!

siapakah kekuatan besar itu?
Bicaralah!

(Sekolah Itu Candu, Halaman: 69)

Berpuluh-puluh tahun para petani dengan usia separuh abad lebih di Dusun Karang Dawa Desa Setupatok Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon bertahan untuk menggarap lahan pinggiran danau Setupatok yang mempunyai masalah yang sangat kompleks.

Hasil pertanian bukan menjadi sebab mereka bertahan, karena jika dihitung dari tenaga dan materi yang keluar itu tidak sebanding, waktu dan tenaga mereka banyak terbuang, uang mereka habis untuk membeli pupuk yang mereka bilang mahal.

Pada suatu kesempatan saat mencari rumput untuk pakan kambing, saya bertemu dengan salah satu petani yang mengatakan bahwa ia baru saja memberikan pupuk ke tanaman padi yang ia beli seharga 400 ribu dan saat ditanya hasil panennya beliau menjawab 1 ton pun tidak di dapat. Belum lagi biaya untuk membeli pestisida dan lain sebagainya, berapa biaya yang mereka keluarkan dalam satu musim tanam?

Jadi saat ditanya kenapa mereka memilih bertahan jawabannya lebih kepada menghabiskan sisa umur dan memanfaatkan tanah yang disediakan oleh alam atau kawan-kawan santri menyebutnya dengan Ihyaul Mawat. Sungguh tindakan yang lebih mulia dibanding santri-santri yang mengkaji ilmu tersebut namun tidak mengamalkannya.

Berpuluh-puluh tahun juga mereka, petani karang dawa, tidak mendapat perhatian dari pemerintah atau dinas terkait. Saat salah satu Ketua RT dusun Karang Dawa berinisiatif untuk membentuk kelompok tani bagi mereka, dinas terkait dalam hal ini Balai Penyuluhan Pertanian tidak bisa membantu, menurut mereka petani Karang Dawa tidak menggarap lahan sendiri melainkan lahan pemerintah. Mereka (BPP) merekomendasikan petani Karang Dawa bergabung dengan Kelompok Tani wilayah lain atau membentuk Taruna Tani. Lalu Apa bedanya membuat kelompok sendiri dengan menggabungkan diri bersama kelompok tani lain? Apa bedanya kelompok tani dengan Taruna Tani jika yang dipermasalahkan itu status tanah garapan? Lalu Petani dengan usia setengah abad lebih menjadi anggota Taruna Tani?

Taruna Tani adalah kumpulan petani muda dari berbagai kecamatan yang berusia maksimal 22 tahun. Taruna Tani untuk petani Karang Dawa? Mana pemudanya? wong generasi petani Karang Dawa pun belum ada yang muncul, yang berminat untuk meneruskan pertanian orang tuanya.

Banyak faktor yang membuat generasi mereka (petani Karang Dawa) sama sekali tidak melirik soal pertanian ini. Paling fundamental adalah pendidikan tentang segala hal terkait pertanian itu sendiri, baik pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya atau pendidikan yang mereka dapatkan dari sebuah Lembaga pendidikan bernama Sekolah.

Bahwa sejatinya pendidikan adalah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi tidak terlihat adanya jika melihat kasus diatas. Mana peran santri yang mengkonsumsi pengetahuan tentang ihyaul mawat? pengetahuan apa yang dikonsumsi orang dari pemerintah terkait atau Balai Penyuluh Pertanian dan  atau generasi petani itu sendiri? Hingga mereka tidak menyadari lingkungannya sendiri, disinherited masses, terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.

Sekolah memang sudah bukan lagi miliknya el pobresiado, kaum yang terlunta-lunta, rakyat jelat! Lihat saja, nama ‘Sekolah Rakyat’ pun dihapuskan. Sebaliknya, sekolah kini menjadi milik dan alat dari satu kekuatan raksasa yang-atas nama dan dengan lebel-label ‘demi pembangunan, industrialisasi, modernisasi, globlisasi’ bukan cuma mengajarkan bagaimana caranya merampok habis sumber daya kebendaan komunal yang dimiliki dan sudah berabad dilestarikan oleh para wong cilik setempat (hutan dan tanah ulayat, hasil bumi, dan sebagainya); tetapi juga mengajarkan bagaimana caranya menjarah sumberdaya kerohanian pribadi maupun kolektif dari orang-orang kampung yang ugahari: pikiran, perasaan, kesadaran, martabat, dan harga diri mereka! []


Bagikan

- Kembali ke Arsip Catatan Lapangan 2017 - 2021

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru