Kesadaran dan Keterpaksaan
Oleh: Otong Aditiya*)
Mentari pagi muncul dari ufuk timur menyapa semua makhluk yang ada di bawahnya. Tanaman-tanaman mengeluarkan embun yang berlinang-linang, kupu-kupu berhinggapan di bunga yang sedang bermekaran.
Hari ini kita akan mengadakan kegiatan pengelolaan sampah di Desa Karangdawa. Sebelum berangkat ke lokasi kita mempersiapkan apa yang harus dibawa, seperti pakaian ro’an (untuk kegiatan bersih-bersih dsb.), gerobak sampah, karung, cangkul, dan sebagainya.
Jarum jam menunjukkan pukul 08:00. Kami siap untuk terjun ke lokasi. Sesampainya di lokasi kami berbagi tugas untuk lebih efisien waktu pelaksanaan kegiatan. Sebagian untuk mengambil sampah-sampah yang ada di depan rumah warga, sebagian lagi memindahkan sampah-sampah yang ada di TPS (Tempat Pembuangan Sampah) ke tempat yang seharusnya.
Di bawah komando Ketua RT/RW setempat saya kawan-kawan langsung bergerak sesuai tugas. Sembari menjalankan tugas, saya bertanya mengenai kegiatan ini. Ternyata kegiatan pengelolaan sampah sudah berjalan beberapa tahun dan sudah menjadi agenda rutinan mingguan Sekolah Alam Wangsekerta. Sampah demi sampah diangkut dari rumah ke TPS. Saat mengambil sampah dari rumah penduduk, saya amati apa yang ada dalam kegiatan ini. Ternyata masih ada sebagian warga yang tidak membuang sampah ke tempat yang sudah disediakan karena belum terlalu paham dengan progam pengelolaan sampah.
Berlanjut di TPS (Tempat Pembuangan Sampah), saya dan kawan-kawan memindahkan sampah ke tempat yang seharusnya. Tempat ini berada di batas wilayah teritorial desa. Pada saat pelaksanaan kegiatan ini terjadi kesalapahaman antara pengurus RT dan pengurus RW setempat, tetapi bisa dilerai oleh Kepala Sekolah SA Wangsekerta.
Ada sebuah kalimat yang pernah saya dengar ”tidak akan tahu kebenaran, jika tidak melakukan kesalahan terlebih dahulu”. Itulah yang sedang kita jalankan, tidak akan tahu asyiknya bercengkerama dengan sampah dan seisinya jika kita tidak merasakan nikmatnya aroma sampah. Sampai-sampai semua itu tidak dihiraukan dan diabaikan oleh panca indra kita, seakan-akan sudah menyatu dengannya.
Bersenjatakan ceker (alat pengerok sampah) kami memindahkan sampah tanpa menggunakan alas tangan dan kaki yang blepotan dengan warna-warni corak sampah. Kami bersentuhan langsung dengan penghuni TPS, mulai dari belatung, cacing, klabang, lalat, kaki seribu dan sebagainya.
Matahari yang semakin naik mulai menyoroti sekujur tubuh yang sudah bercucuran keringat. Keringat seakan menguras semua tenaga kami. Tak terasa dan tanpa dirasa.[]
*) Mahasiswa Ma’had Aly Ponpes Kebon Jambu Cirebon