Kepemimpinan Perempuan: Belajar dari Desa
Oleh: Wakhit Hasim
Ketika saya menjadi bagian dari anggota DPN Perserikatan Solidaritas Perempuan tahun 2000an, kami mengembangkan feminisme sebagai ideologi organisasi. Salah satu prinsip ideologis untuk merespon masalah sosial adalah memakai basis pengalaman perempuan, terutama pengalaman terdiskriminasi yang luas di berbagai aspek sosial. Posisi perempuan dalam hubungan-hubungan kuasa gender ini menjadi asumsi dasar.
Feminisme dalam arti ini dapat diturunkan dalam langkah-langkah memahami masalah dan pilihan strategi, atau metodologi. Metodologi ini dapat dipecah menjadi dua: basis pengalaman empiris, dan kedua basis pengalaman perempuan. Bagaimana kedua basis ini diterapkan, misalnya untuk memahami masalah kepemimpinan perempuan di desa, menjadi sangat signifikan untuk menghindari sikap abstraksi model universalisasi patriarki. Artinya, tiap desa dan tiap kelompok perempuan memiliki masalah yang berbeda sesuai konteks, tak bisa digebyah uyah model universalisasi.
Pemimpin dan Kuasa
Berbagai model latihan leadhership sering kali menduplikasi pemahaman bahwa pemimpin itu adalah pemegang jabatan, dan memimpin adalah menjalankan fungsi jabatan meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan monev. Dalam latihan-latihan lanjutan, biasanya akan dipelajari instrumen-instrumen untuk itu Misalnya SWOT, RBM, Zopp, LFA, dsb.
Hal ini sebetulnya agak menyesatkan untuk penyadaran, terutama di desa. Itu berarti, yang tidak menjabat tidak memimpin. Siklus kepemimpinan menjadi kaku dan formal. Dan penilaian bagus tidaknya kepemimpinan hanya dilihat dari kelengkapan instrumen.
Kepemimpinan menurut saya lebih cocok jika dimaknainya sebagai kemampuan dan praktek membaca situasi dan sadar jenis kuasa apa yang ada dan dapat digunakan untuk mengelola situasi itu sesuai tujuan. Feminisme sebagai metodologi dapat memanfaatkan kuasa ini untuk merespon ketertindasan sosial yangg terutama dialami oleh perempuan.
Kuasa, daya, kekuatan dapat bermacam ragam. Lazimnya dikenali ada tiga bentuk: Pertama kuasa-memaksa, itu melekat pada kewenangan jabatan. Sifatnya punya keabsahan tertentu dan didapatkan karena kualifikasi tertentu, tapi bersifat sementara. Karena sifat ini, perubahan dapat diupayakan secara lebih struktural.
Kedua, kuasa-bersama, yakni kemampuan kerjasama dan komunikasi. Keahlian ini dapat membangun rasa percaya, dan menggerakkan masyarakat dengan wacana yang dipercaya. Konflik-konflik terkait kekerasan, terutama yg berbasis gender, dapat menggunakan kuasa ini untuk tujuan praktis menyelesaikan kasus kekerasan, dan strategis untuk membangun kesetaraan.
Kuasa ini tak selalu butuh jabatan untuk menggunakannya. Memimpin perubahan dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan kedudukan apa saja, jika kemampuan dan kuasa ini dimiliki. Tidak seperti kuasa-memaksa, kuasa-bersama dapat dipelajari oleh tiap orang.
Ketiga, kuasa-dari-dalam-diri, yakni kemampuan yang dimiliki seseorang karena disiplin diri yang baik. Bentuknya dapat berupa kharisma, integritas diri, kemampuan linuih, yang dengannya orang lain percaya dan tunduk. Kuasa ini juga tidak butuh jabatan, namun berpengaruh dan punya daya ubah. Bersama dengan kuasa-bersama, kuasa jenis ini sering dimiliki para agamawan, orang tua, spiritualis, atau orang biasa. Memimpin perubahan dapat menggunakan orang dengan kemampuan ini, atau digunakan oleh orang dengan kuasa ini.
Intinya, kepemimpinan tidak selalu dikaitkan dengan jabatan. Imajinasi dan kesadaran mengubah keadaan dapat dilakukan siapa saja dengan menyadari berbagai bentuk kuasa, daya, energi, kemampuan, baik dalam diri sendiri maupun orang lain.
Dalam pratik lanjutnya, instrumen manajemen juga bukan kunci untuk perubahan yg kaku, terutama pada awal inisiatif mengubah. Jika bekerja di desa yg ekstrim dengan kemiskinan, kita perlu menahan diri dari pengetahuannya dengan kearifan di atas rata-rata, termasuk dari feminisme ideologis. Kita butuh feminisme metodologis. Seperti apa?
Metodologi Feminis Kepemimpinan Perempuan
Saya sendiri laki-laki, yang dalam asumsi dasar feminisme hanya dapat berlaku separoh feminis. Hal itu karena laki-laki dapat setia dengan basis pengalaman empiris, tapi tidak sepenuhnya dengan basis pengalaman empiris perempuan. Saya tetap laki-laki, tapi dapat peduli terhadap ketertindasan perempuan, dan melawannya. Laki-laki peduli, laki-laki baru seperti yang dikomandoi sahabat saya Nur Hasyim, Babeh Saka, Syaldi Sahude, dkk yang banyak bekerja di perkotaan.
Pada faktanya, masyarakat desa memiliki dinamika yang khas. Asumsi gender laki-laki sebagai pemimpin ada, namun pembagian peran gender tidak begitu mencolok timpang, terutama pada kelas bawah. Kelas elit lebih terasa patriarki, semacam menguatnya kepekaan kuasa memaksa dan mitos lelaki yang jauh. Sifat potensial patriarki jauh lebih aktual saat seseorang menjadi elit, terutama dengan faktor jabatan sosial-politik.
Maka, strategi memilih agensi menjadi sangat penting dalam memunculkan kepemimpinan perempuan. Agensi pengubah paling potensial untuk transformasi adalah kelompok yang paling diabaikan penguasa, paling disia-siakan, paling menderita. Dengan persemaian kesadaran kritis dan pendekatan emansipatoris, kuasa-kuasa pengubah mendapat ruang bertumbuh, dan dapat dikelola untuk mengubah keadaan.
Pengalaman komunitas Wangsakerta di Cirebon bekerja dengan masyarakat desa memberi pelajaran kuat bahwa upaya feminisme metodologis itu hanya mungkin dengan pendekatan pengorganisasian sosial yang telaten. Pemimpin tidak dapat dimunculkan dari pelatihan gender, workshop kepemimpinan perempuan, advokasi langsung menuntut kuota jatah jabatan.
Pengorganisasian menjadi inti dari kesetiaan atas dan terhadap pengalaman perempuan desa, melalui tindakan komunikasi, dengan menguatkan rasa bersatu yang menerbitkan daya emansipatoris, memunculkan inisiatif bersama.
Agensi yang paling strategis perlu dicari dalam laku mengorganisir. Dalam kasus Cirebon, di kampung Setu Karangdawa, agensi ini ketemu setelah berjalan satu setengah tahun, yaitu kelompok ibu-ibu muda dan kelompok remaja awal usia belasan.
Mereka yang merupakan kelompok pengubah, ruang persemaian kuasa-bersama dan kuasa-dari-dalam-diri secara kuat. Meskipun tanpa jabatan, proses menjangkau perubahan muncul dari diri mereka.
Anak-anak remaja awal yang tergabung dalam Sekolah Alam Wangsakerta mengalami semua yang dikisahkan dalam buku Women’s Way of Knowing. Tak bisa bicara, malu bukan main, ekspresi bisu, tanpa imaginasi dan cita-cita, dan berespon hanya terhadap trend sesama mereka.
Anak-anak ini didekati, diajak bermain, diapresiasi, disentuh, dan dihargai. Seperti magnet, mereka mencerap daya baru ini pada saatnya. Laki perempuan bersama, dan saat diajak kerjasama, persemaian kesetaraan gender bekerja tanpa kata. Role model organizer mereka tangkap secara mendalam.
Ibu-ibu muda tidak menyadari kemampuan awalnya kecuali citra diri yang terbatas. Saat bekerja sama setelah rasa percaya karena interaksi pengabdian organizer yang kukuh dan berkesinambungan, potensi mereka mekar.
Bekerja membagi peran, dalam kasus ini melakukan pemetaan Sosial dan Spasial, kecenderuangan kuasa dan memimpin baru dapat dilihat. Potensi kepemimpinan mereka muncul dalam tiga kecenderungan.
Pertama, ada di antara mereka yang kemampuannya dominan dalam memastikan semua target dilalui dan diselesaikan. Tipe ini adalah tipe manajer. Hatinya dingin, otaknya bekerja, dan bisa menyuruh orang untuk melakukan tugasnya. Ini bukan produk latihan, tapi membacanya kecenderungan dalam laku praktik.
Kedua, ada diantara mereka yang sabar mendengar orang lain berproses, tekun dan kreatif menjelaskan, serta suka mengajar. Tipe ini adalah fasilitator. Kekuatan transformatifnya ada pada fasilitasi orang lain, ringan tangan untuk membantu, dan dipercaya.
Ketiga, ada pula yang kemampuan besarnya pada mengajak sesama, menghibur, mengumpulkan orang. Tipe ini penggerak, pengajak. Suka bercerita dan bersosialisasi.
Organizer dapat menangkap keselurahan kecenderungan ini untuk dikelola dalam mengubah keadaan. Apa yang dalam kriteria keadilan gender, misalnya dari Sarah Longwee, tidak perlu dilalui sebagai kriteria kaku.
Misalnya, perubahan gender harus dilihat dulu pada aspek kesejahteraan, lalu pengetahuan, akses, partisipasi dan terakhir kontrol. Mengapa? karena tiap orang beda karakter dan kecenderungan dominan.
Dengan laku pengorganisasian yang setia pada pengalaman perempuan desa, cara mengidentifikasi kecenderungan adalah proses sekaligus temuan dalam praktik. Apresiasi kita terhadap kekuatan mereka adalah afirmasi diri, penyadaran, dan sering punya daya ubah kuat. Mereka jadi sadar dan percaya diri, dan tentu siap bekerja mengembangkan diri.
Kesimpulan
Demikian bahwa kepemimpinan perempuan dapat dimunculkan di desa dengan cara mengorganisir untuk perubahan situasi spasial dan sosial desa. Pengalaman perempuan baik sebagai diri maupun bagian kelompok sosial menjadi subyek yang dikelola.
Dengan cara feminis ala ini, potensi kepemimpinan muncul bersamaan dengan upaya perubahan sosial dalam berbagai bentuk yang tidak bisa disama-samakan dalam paket proyek yang seragam.