Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

Kata Sekolah Membuatku Mati

Oleh: Choirur Rozikin *)

Gambar hanya ilustrasi

“Sekolahlah, biar masa depanmu bagus”, ucap Guruku dulu. Kalimat itu masih terbayang jelas dalam benakku. Membuat mati rasa seluruh tubuh ini, hidup ini seakan berakhir karena aku tidak bisa melanjutkan sekolah.

Dalam setiap waktu senggang aku selalu membayangkan indahnya duduk di bangku sekolah, bercanda dengan teman sebangku, tertawa lepas seperti tak ada beban dipundak. Tanpa sadar air mataku mengalir dengan sendirinya.

“Wooyyyy!!”, suara Bapak menghentikan lamunan yang menyakitkan itu. “Ayo kita lanjutkan pekerjaan di lahan, ucap bapak, yang seolah-olah sudah mengerti apa yang sedang ku alami”.

Sorotan matahari seperti ikut menghukum takdir hidup ini. Suara gaduh dengan selingan tawa mendekat. Aku tahu, itu pasti teman-teman yang baru pulang dari sekolah.

Heeyyyy, Hendra!! Suara temanku memanggil. “nanti sore jangan lupa kita main bola bersama”. Aku jawab sekenanya aja. ” Ok, setelah semua selesai aku pasti ke sana”. Walaupun tahu pasti nanti belum selesai.

Bapak melihat dengan tatapan yang penuh kasih, dengan mata yang sedikit berkaca. “Nanti pergilah bermain, biar bapak yang selesaikan”. Aku tersenyum, menghargai pengertian bapak. Namun aku pasti lebih memilih di sini.

Matahari sudah mulai terbenam, tanda untuk kami pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, setiap orang yang bertemu dengan kami selalu bertanya, apa benar Hendra sudah tidak sekolah? kenapa?”. Bapakku menjawab “Iya, tidak kuat bayar SPP, belum untuk biaya yang lainnya”. Lalu muncul pertanyaan selanjutnya yang membuat hati dan kaki ini berhenti bergerak. “Nanti Hendra mau jadi apa? Jaman sekarang kalau tidak sekolah apa yang bisa di harapkan”. Bapak tidak menjawab, namun melihat kearah ku dengan mata yang penuh dengan rasa bersalah. Sesampainya di rumah, bapak meminta maaf kepadaku sambil menangis, aku tak tahu harus menjawab apa, hatiku terasa sakit dan hancur.

Aku berusaha melanjutkan hidup yang penuh dengan kejutan ini. Rutinitas ku setiap hari membantu ayah berkebun, sesekali aku ikut paman untuk berjualan mangga di pinggir jalan kota. Meski sudah bertahun-tahun mereka mengetahui bahwa aku tidak melanjutkan sekolah, namun mereka tetap saja membicarakannya.

“Tuh kan benar, kalau tidak sekolah pasti kerjaan nya mentok di kebon, tidak seperti Andi temanmu yang sudah bekerja di salah satu hotel di kota”, ucap Bu Ningsih tetangga ku. Lagi-lagi mental ku jatuh ketika mendengar itu, ingin rasanya membalas perkataan itu, namun apalah daya memang seperti itu keadaan nya. Yang lebih menyakitkan lagi ketika ada musyawarah di mushala tentang acara maulid Nabi, aku mengusulkan beberapa acara seperti lomba ceramah dan lomba hafalan Quran untuk anak – anak usia 12-15 tahun. Usulan ku di tolak bukan karena isi dari usulanku. “Kamu tau apa tentang acara Maulid Nabi? Sekolah aja tidak selesai”, kata Andi yang dulu teman baikku.

“Ohh sekolah begitu wajib kah dirimu di dunia ini!!! sehingga kau hukum diriku yang tak mampu melewatimu”, jeritku dalam hati. []

*) Pendamping Sekolah Alam Wangsakerta


Bagikan

- Kembali ke Arsip Catatan Lapangan 2017 - 2021

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru