Desa Sebagai Kelas Sosial
Oleh: Wakhit Hasim
Konsep kelas sosial tidak mengacu pada suatu ruang spasial, misalnya desa. Kelas merupakan kelompok hirarkis, yang ditentukan oleh posisi dan kewenangan anggotanya untuk menentukan cara hidup keseluruhan masyarakat dalam spasial tertentu.
Faktor penentu hirarkinya adalah ekonomi yang secara dialektis dilahirkan dan melahirkan posisi sosial dan kewenangan politis dalam masyarakat maju (kapitalisme). kalaupun ada faktor lain, misalnya tingginya pengetahuan, darah keturunan, kolompok aliran keagamaan dan lain-lain. Hal-hal ini dipandang secara instrumental sebagai aparatus kapitalistik untuk ekonomi.
Lalu, bagaimana desa kok dipandang sebagai kelas sosial? Hal ini saya pikirkan sebagai semacam hipotesis untuk tujuan sosialisme dalam konteks masyarakat kapitalistik mutakhir di Indonesia. Dasar konseptualnya ada dua: (1) dilema konsep kelas dan kesadaran kelas untuk perubahan sosial ke arah keadilan, dan (2) posisi desa sebagai suatu kelompok dengan kepentingan sosialnya berhadapan dengan laju budaya kapitalisme nasional dan internasional.
Imaginasi tentang stratifikasi kemasyarakatan tak bisa dipisahkan dari konteks nasionalisme, dan hubungan internasional. Maka konsep kelas merupakan produk modern, sebab negara bangsa baru lahir di masa modern.
Namun, karena indikator utama konsep kelas adalah posisi dan otoritas atas sumberdaya kehidupan, maka konsep kelas dapat pula dipakai untuk analisi masyarakat dalam konteks apapun, termasuk kehidupan masa pra modern.
Kekhasan konsep ini pada masa modern adalah konteks kegunaannya dalam membedah cara kerja eksploitasi kelas-kelas terbawah dalam moda masyarakat kapitalis. Melepaskan dimensi kegunaan dalam membedah eksploitasi akan melemparkan analisis kelas hanya sebagai “gaya intelektis” saja, tak ada gunanya.
Eksploitasi ini dapat berupa bentuk kasar pencurian selisih upah dalam relasi industrial, di mana upah tak sebanding dengan kerja diukur dari keadilan dalam relasi-sosial (Marx).
Bentuk yang lebih samar dari eksploitasi ini adalah hegemoni, dimana pihak yang dieksploitasi setuju dan mengintrodusir nilai kehidupan eksploitatornya. Kelas elit dan menengah adalah acuan cita2 hidup, kurang lebih begitu. (Gramsci)
Yang paling menjengkelkan adalah saat moda eksploitasi ini berlaku otomatis, sistemis, dan dianggap natural. Sifat reifikasi ini sacam kodrat hidup adalah mengikuti kemajuan teknologi yang memudahkan. Memudahkan cara eksploitasi. (Lukacs).
Nah, konteks nasionalisme dan internasionalisme ini dapat dijinakkan. Bukan oleh revolusi, seperti cara klasik yang menakutkan. Namun dengan cara lain, yaitu memotong pasar-bebas dengan sistem produksi, distribusi, dan valuasi mandiri, dalam hal ini pada strata masyarakat desa.
Bayangkan Desa, yang dengan kuasa dalam UU Desa tahun 2014 sudah dianggap sebagai negara dalam Negara. Paling tidak secara hukum. Jika desa memiliki sumber daya pangan, energi, teknologi, informasi, dan semua dikelola secara mandiri oleh masyarakatnya baik secara berkoperasi maupun dengan mekanisme pemerintahan desa, maka pasar nasional dan internasional tak terlalu perlu dirisaukan infiltrasinya.
Bebas dari pasar, itu tak mungkin. Secara de facto, kita dibatasi ole UU OTODA dalam konteks pembagian pengelolaan sumber daya. Semua terdekonsentrasi, kecuali lima aspek: finansial, fiskal, hukum, keamanan, dan agama.
Jika pasar terlalu memaksa, desa bisa mengelak dengan kekuatan kepenguasaan atas “kapital” riil. Ujian paling genting adalah bangkrutnya Yunani, sebagai contoh korban pasar internasional. Sebagai administrator dan manager pengelolaan sumber daya hidup bagi rakyatnya, Yunani jatuh pada taraf hampir bubar beberapa tahun silam. Bank Dunia berkali-kali mengintervensi, dan gagal. Kapitalisme gagal.
Lalu Yunani bangkit pelan-pelan, dengan langkah kesetiaan pada leluhur. Yang membuatnya berhasil justru sifat ke-desa-annya, yang diwarisi dari Plutarkh, filsuf kuno soal ekonomi Yunani. Walikota membagi tugas warga, saling support, barter tenaga dan pangan, dilarang hutang. Dan kini mereka bebas dari krisis tersebut. (Topatimasang)
Desa merupakan dasar sosial, sebuah kelas dalam konteks nasionalisme dan internasionalme modern. Desa pula yang, saat ini sebagian besar masih hipotetik, dapat keluar dari konteks gurita eksploitasi globalisasi ekonomi liberal.
Kelas apa desa itu? Elit? Menengah? Bawah? Tidak memadai, jika desa mampu menangani eksploitasi dalam kehidupan masyarakatnya.
Desa-desa berbeda-beda. Ada yang miskin, ada yang kaya akan sumber daya. Ada yang terampil memimpin diri, namun tak sedikit yang kehilangan diri. Ada yang tertib bermusyawarah, ada pula yang penuh makhluk rakus. Mereka dapat bekerjasama, saling belajar, membangun distribusi pangan dan energi secara asosiatif-federasional.
Cirebon, 14 Januari 2020.
Ps) Catatan ini dibuat sembari bekerja bersama teman-teman di SA Wangsakerta dalam konteks upaya ini.