Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

<strong>Berdaulat Melalui Pangkalan Data: Pengalaman Warga Belajar Saung Wangsakerta Mendampingi Petani Dusun Karangdawa</strong>

Oleh: Omen

Bi Ratminah, petani Karangdawa tinggal digubuknya ditengah Segara

Selama bertahun-bertahun –bahkan nyaris telah puluhan tahun berjalan, para petani di dusun Karangdawa menggarap lahan pertanian pada area ladang yang seringkali menghilang di kala musim penghujan. Pada saat musim penghujan seperti saat ini, terutama tatkala intensitas hujan yang tinggi menyebabkan kenaikan volume air di danau, dan menggenangi lahan-lahan persawahan di atasnya, praktis area garapan tersebut tenggelam dan segera menghilang. Ketika air kembali surut, maka para petani-pun mendatangi kembali lahan-lahan garapan mereka, dan melakukan aktivitas bercocok tanam seperti sedia kala. Kondisi yang seringkali tergambar dengan sebuah perumpamaan ‘pertanian siluman’. Pada situasi lain, ketika musim kemarau datang, kekeringan-pun ikut melanda dan berdampak secara langsung pada siklus masa panen yang sulit diprediksi, sampai defisit pada aspek kualitas dan kuantitas hasil panen. 

Lahan garapan tersebut terletak dalam batas terluar dusun Karangdawa, yang berhimpitan langsung dengan sebuah bukit yang dikelilingi oleh waduk, situ, atau familiar dengan nama Danau Setu Patok, yang secara administrasi berada di Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Dilihat dari kejauhan, antara radius lima meter sampai satu kilo meter, betapa bukit setu patok sesungguhnya terlihat eksotis nan panoramik, dengan pemandangan yang kontras hijau di kala musim penghujan datang. Itu karenanya, memasuki tahun kedua pandemi korona, orang-orang dari luar kampung acapkali berduyun datang; sebagian karena alasan instagramble, sisanya lebih sering dijadikan spot berolahraga. Melalui jarak dekat, bukit setu patok lebih sering menyimpan kenyataan yang berbeda dari realitas panorama alam yang seharusnya: terdapat puluhan petani penggarap yang, hari-hari ini, bertahan melalui pertarungan panjang sebuah nasib atas kehidupannya melalui pangan. 

Di atas segala kondisi demikian, bagaimana para petani melewati tahun-tahun panjang dan bertahan sampai saat ini? 

***

Bi Rat, begitulah warga sekitar menyapanya, atau ia sendiri yang acap kali memperkenalkan dirinya kepada orang lain dengan panggilan tersebut. Sepasang kedua bola matanya menyorot tajam, tampak-terlihat pada langit kulit pelipis kedua mata itu yang telah kian mengendur, dengan intonasi suara yang meninggi, ia pun menyeloroh bertanya sesaat kami menyambangi dirinya pada saat berladang, Kamis, 10 Desember 2021. 

“Kalian mau ngobrol sama Bibi kan?” Kami mengangguk pelan, tanda mengiyakan. 

Itu sedikit momen awal pertemuan kami. Sembari bertanya kabar, meminta maaf karena menyela aktivitas berladang, dengan ekspresi jari yang menunjuk, ia memberi sebuah pernyataan tegas lagi, “Cepat bersihkan dulu celanamu. Bersihkan pake air danau, agar tak masuk angin.” Sergahnya. 

Sontak, aku pun baru teringat, kalau-kalau nyaris setengah badanku berikut pakaian yang dikenakan terkena lumpur, setengah jam sebelum pertemuan itu, sepeda motor yang kami kendarai nyaris pula terhenti genangan lumpur.  

Usianya pada tahun-tahun ini, kira-kira memasuki kepala lima. Ketika kami meminta ia bercerita perihal pada tahun keberapa kelahirannya, ia sekadar menjawab berdasarkan perkiraan. Barangkali faktor lupa secara teknis, atau bisa jadi karena, pada akhirnya, usia tak lagi patut diingat secara krusial, disebut-sebut secara berlarat. “Kira-kira 50-an lebih, cung.” Katanya. Ia lalu bercerita mengenai fase-fase terpenting dalam kehidupan, misalnya pada masa kecil bersama keluarga hingga memasuki tahap remaja. Dan lagi-lagi, usia tak jadi point yang menyelinap masuk ke dalam obrolan. Sebagaimana dalam perkara usia, ia menyatakan jawabannya berdasarkan perkiraan, begitu pula dalam urusan sejarah penggarapan lahan. Tak ada detail angka tahun yang pasti –minimal sampai hari ini, sejak kapan Bibi Rat, juga para petani lain yang menggarap lahan di areal yang kawasan segara itu mulai bercocok tanam. 

Kudengar Bi Rat berulang-ulang mengucapkan kata ‘segara’, sesaat kami membersamai obrolan dengannya pada siang hari itu, di bawah teduh sebuah pelataran gubug, yang ia bangun sederhana, di samping lahannya. Pikiranku melesat jauh setelah mendengar kata ‘segara’ ke hamparan samudra luas tak berbatas, sebab dalam bahasa Jawa, segara berarti laut atau lautan. “Adakah bukit-bukit di sini, lahan-lahan sawah di sini, berasal dari laut, yang kemudian mengering?” Tanyaku membatin. 

Tetapi setelah kutanyai, apa ‘segara’ yang dimaksud oleh Bi Rat, ternyata bukan laut artinya.  

Segara merupakan istilah atau terminologi yang khas dikreasikan oleh warga Karangdawa untuk kawasan lahan yang digarap petani Karangdawa. Segara, oleh orang tua zaman dahulu di sana, berarti kawasan lahan yang dimiliki negara. Selain menggarap pada area yang disebut Segara, terdapat kawasan lahan yang juga digarap oleh petani Karangdawa, yakni kawasan Pangadusan. 

Padi adalah salah satu jenis tanaman pangan utama yang ditanam oleh Bi rat di kawasan Segara Danau Setu Patok. Tanaman lainnya meliputi jenis kacang-kacangan, umbi-umbian, serta jagung. Untuk tanaman padi sendiri, terdapat sekitar empat sampai enam bahu luas lahan yang digarap oleh keluarganya secara turun-temurun sejak puluhan tahun silam yang diteruskannya hingga kini. “Jika (terpaksa) ditaksir tahunnya, sekitar awal 2000-an, saya telah melakukan aktivitas mola, meneruskan orangtua.” Cerita Bi Rat. Warga Karangdawa menamai siklus penggarapan; mulai dari penyiapan lahan, pembibitan sampai ke tahap panen sebagai aktivitas mola. Sementara untuk hasil panen padi yang digarapnya ditaksir dalam satu tahun bisa mencapai dua kali masa panen, tetapi belakangan ini, satu panen dalam satu tahun itu sudah dianggap luar biasa. 

Apa pasalnya? 

Pertama, kondisi lahan. Pada musim penghujan seperti ini, lahan-lahan garapan milik petani Karangdawa rentan dan seringkali terendam air. Air tersebut berasal dari danau yang mengalami volume kenaikan air yang berlipat akibat curah hujan yang kian meninggi. Ketika hujan deras, volume air naik, dan merembes menggenangi lahan-lahan yang digarap petani tersebut. Tatkala lahan digenangi air, praktis tanaman akan terendam: sebagian tanaman tersebut mati, jika pun tersisa, maka akan mempengaruhi hasil kualitas panen. Sedangkan pada musim kemarau, para petani yang tidak memiliki peralatan pendukung untuk membuat peralatan bor serta pipa-pipa air, maka berdampak pada kekeringan pada lahan garapan. 

Kedua, tidak tersedianya peralatan pendukung utama untuk menggarap lahan. Ini meliputi sejak dari tidak adanya mesin traktor, sistem saluran irigasi yang tidak memadai sampai pada kelengkapan tambahan dalam soal-soal pemupukan. Untuk Bi rat sendiri, juga petani lain di sana, situasi tersebut masih menjadi kendala yang dihadapi. Ketiga, regenerasi petani. 

Temuan awal perihal tidak adanya regenerasi petani di Karangdawa hari ini dikarenakan sektor pertanian sendiri, katakanlah, tidak cukup ‘seksi sebagai pemasukan utama’ sehingga mampu  menarik minat generasi muda untuk bertani, namun bagi Bi Rat, ia berpandangan pada saat kondisi pertama dan kedua itu cukup mampu teratasi, maka perlahan generasi muda juga ikut ‘dengan sendiri-nya’ terjun bertani. Praktisnya, pada saat sistem dan daya dukung terhadap lahan pertanian di area segara dan pengadusan tersebut dibenahi, itu juga sama berpeluang menarik inovasi terhadap regenerasi petani pada keesokan hari. 

Ketiga poin tersebut sesungguhnya pula berasal dari pemetaan masalah terhadap situasi riil yang dialami dan dihadapi oleh petani Karangdawa, dan telah dimusyawarahkan bersama pada Kamis, 25 November 2021, yang difasilitasi oleh Yayasan Wangsakerta. Selain Bi Rat, terdapat sekitar tiga puluh tujuh (37) petani lain yang menggarap lahan di satu kawasan dengan area yang berbeda meliputi area Segara dan Pangadusan. Setelah musyawarah tersebut, warga belajar murid sekolah alam wangsakerta membantu petani yang membutuhkan tenaga tambahan pada saat panen. Selain aktivitas membantu panen petani, mereka juga membuat pangkalan data bersama petani Karangdawa meliputi: aktivitas penitikan lahan untuk pemetaan spasial serta melakukan pendataan sosial untuk keluarga petani. 

Secara legal-administratif kepemilikan area lahan yang kini digarap oleh para petani di dusun Karangdawa adalah ‘tanah negara’. Persis di sini titik pangkal bahasannya: sejak dahulu, lahan-lahan tersebut tak pernah terurus, dibiarkan begitu saja, tanpa adanya perhatian dan perawatan yang berarti, sampai kemudian, sejak dahulu itu pula, secara turun-temurun warga memanfaatkan secara maksimal lahan tersebut untuk menanam kebutuhan pangan. Masalahnya, aparat pemerintah –yang sesungguhnya melekat kewajiban, melindungi petani dan memastikan sektor pertanian tetap berlangsung sebagai daya dukung penghidupan justeru terlihat impoten, bahkan dalam pelbagai kondisi malah jadi penghambat. Dalam satu kondisi, pernah terjadi insiden di mana aparat pemerintah setempat ‘memalak’ petani saat masa panen tiba. Alasannya, karena warga menggarap lahan ‘di area milik negara’. Tindakan tersebut jelas masuk kategori kriminal, apapun alasannya. 

Masihkah kita perlu berharap sektor pertanian jadi sesuatu krusial yang diperhatikan bagi kehidupan ke depan? Jelas iya. Tapi pertanyaan urgennya: seberapa mau kita kembali menengok ke sana, membersamai petani-petani di kampung-kampung, di desa-desa, untuk menemani mereka berdaulat terhadap pangannya, terhadap kehidupannya. Menemui petani seperti Bi Rat dan petani lain di Karangdawa jelas memberi makna tersendiri bagi kami. Sebuah makna di mana keberlangsung hidup itu memiliki kunci ketika kita bisa berdaulat terhadap pangan kita sendiri. Dan untuk mencapai ke sana, pangkalan data digunakan sebagai basis metodologi yang membantu advokasi petani Karangdawa.[]


Bagikan

- Kembali ke Arsip Catatan Lapangan 2017 - 2021

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru