Karangdawa, 26 Juni 2018
Catatan : Reza D Zea
Rabu, 26 Juni 2018. Dusun Karangdawa kedatangan tamu dari Lembaga Pengembangan teknologi Pedesaan (LPTP) Solo. Pak Rahadi namanya. Beliau di LPTP menjabat sebagai Direktur SUSDEC, yakni sebuah lokus di bawah naungan LPTP yang fokus utamanya menyelenggarakan pendidikan dan riset-riset sosial. Karena SUSDEC sendiri adalah singkatan dari Sustainable Education Development Center.
SUSDEC, seperti yang tertulis di website resmi LPTP, memiliki komitmen untuk melakukan transformasi ilmu dan pengetahuan serta teknologi kepada masyarakat yang mempercayainya. Oleh sebab itu, di sela-sela kegiatan beliau di Cirebon, kami meminta beliau untuk berkunjung ke Karangdawa, desa tempat kami belajar untuk sedekah ilmu, berbagi wawasan dan pengalamannya kepada kami soal bagaimana sebuah desa perlu di bangun. Terutama untuk saya pribadi yang miskin imajinasi tentang bagaimana membangun sebuah desa yang memiliki integritas kawasan yang kuat di dalamnya baik dalam segi ekonomi, sosial, maupun budaya.
Sebagai informasi awal, Dusun Karangdawa secara teritorial masuk dalam Kelurahan Situpatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Dan bagaimana ceritanya kami bisa sampai di Karangdawa? Belajar bikin saung yang beberapa bulan lalu baru saja roboh dimakan rayap. Belajar macul sampai tangan pada kapalan sampai sukses muntah-muntah haha. Belajar dadi wong tani yang sok anti kimia haha. Bikin sekolah kecil-kecilan. Hingga makan, minum, dan berbaur dengan penduduk setempat.
Semua pengalaman tersebut dimulai sekitar dua tahun yang lalu dan semuanya serba kebetulan. Ya, kebetulan! Kebetulan saja kami semua dipertemukan dan saling mengenal dalam sebuah diskusi kecil di rumah Pak Wakhit. Kebetulan saja kami semua merasa jengah kalau cuma berdiskusi beragam teori, berebut podium, tanpa melakukan aksi nyata di masyarakat seperti kampus sebelah haha. Serta kebetulan saja ada seseorang yang memiliki tanah di Karangdawa yang secara sukarela meminjamkannya kepada kami untuk di jadikan Lab Pertanian sebagai media tempat kami belajar.
***
Sekitar pukul 7 malam, bertempat di Rumah Ang Pat, acara tersebut dimulai. Sarasehan yang menghadirkan Pak Rahadi tersebut diinisiasi oleh Pak Wakhit dan Bu Ida itu dihadiri oleh pengurus Yayasan Wangsakerta, Pemuda Karangdawa yang tergabung dalam Kumpulan Remaja Karandawa (KURAWA), serta beberapa penduduk lokal.
Forum tersebut dimulai dengan membicarakan Pemetaan yang dilakukan oleh para KURAWA, Ramadhan kemarin. Pemetaan itu sendiri terbagi menjadi dua, yakni pemetaan spasial dan pemetaan sosial. Kedua pemetaan tersebut tentu saja memiliki cara kerja dan ruang lingkup yang berbeda.
Secara sederhana, tim pemetaan spasial yang difasilitasi oleh Isommudin ini dituntut untuk memenuhi kebutuhan data akan sistem informasi geografis suatu wilayah. Melalui digitalisasi peta yang memanfaatkan teknologi global positioning system (GPS) mereka fokus memetakan batas wilayah, kontur tanah, peta lahan, dan segala sesuatunya yang berhubungan dan memiliki referensi geografis.
Sedangkan tim pemetaan sosial dengan Bu Ida, Ang Pat, dan Siska sebagai Juru kemudi yang bekerja sama dengan Pemerintahan Desa ini fokus utamanya adalah membuat sistem database desa. Metode yang kita gunakan adalah dengan cara menyusun sekian daftar pertanyaan dalam bentuk angket. Menyebarkannya dengan cara mendatangi rumah per rumah yang dibantu oleh Pemuda Karangdawa. Setelah data tadi terkumpul, kita input, kita olah, lalu kita jadikan sebagai bank data desa yang siapaun bisa mengaksesnya selama itu untuk kepentingan dan kemajuan desa.
Dari data sosial tersebut kita bisa melihat terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat seperti kelompok-kelompok apa saja yang ada di masyarakat. Mata pencaharian dan biaya hidup yang dihabiskan dalam sebulan. Isu kesehatan, sanitasi dan lingkungan hidup. Termasuk menghitung berapa jumlah jomblo useless yang akan diberikan pilihan; suntik mati atau dikirim ke gulag hahaha.
Pada akhirnya, kedua jenis pemetaan tersebut bermuara pada fungsi yang sama yakni untuk menjawab kebutuhan informasi akan data suatu kawasan. Termasuk dijadikan pedoman dalam setiap pengambilan kebijakan agar desa tak lagi salah arah.
Seperti yang ditegaskan kembali oleh Pak Rahadi; mau bagaimanapun juga data tadi harus dikembalikan ke desa. Dipergunakan untuk kemajuan dan kemakmuran desa. Dari desa dan kembali ke desa.
Ya, persis seperti yang di ucapkan Pak Roem beberapa bulan lalu di kediaman beliau, Insist Jogja. Menurut beliau, desa-desa saat ini berbeda dengan desa di zaman Orde Baru. Desa sekarang ini punya dana begitu besar. Namun sayangnya banyak sekali kepala desa yang kebingungan dan tidak tahu harus digunakan untuk apa dana sebesar itu. Akibatnya, seringkali anggaran desa habis pada sektor sektor yang salah atau digunakan namun tidak menjawab kebutuhan desa sehingga tidak menambah nilai manfaat sedikitpun bagi desa tersebut. Oleh sebab itu, disinilah nilai penting dari sebuah data tersebut. Dan jelas data yang bagus tak mungkin ada tanpa melalui pemetaan yang terstruktur dan terorganisir.
Dan rasanya tak perlu lah yah membandingkan metode kita dengan cara pegawai BPS atau lembaga-lembaga survey pemilu hahahaha…
Selain pemetaan tadi, ada pelajaran penting lain yang saya dapat dari Pak rahadi semalam, saat beliau berbicara soal bahwa menanam dan bertani dengan lahan yang terbatas pun tetap bisa menghasilkan nilai ekonomis yang besar. Beliau menceritakan pengalamannya tentang sebuah desa di Wonosobo atau Magelang, entah saya lupa, tentang seorang anak muda yang mengorganisir 100 orang di kampungnya untuk menanam Cabai cukup dalam Polybag. Lalu tiap-tiap orang dari 100 orang tersebut di beri tugas menanam 20 pohon Cabai dalam 20 polybag.
Ya cukup 20 pohon per orang. Tak repot mengurusnya dan bisa di kerjakan sebagai selingan. Tapi mari kita lihat hasinya. Jika tiap pohon mampu menghasilkan 8 ons Cabai x 20 x 100 maka dalam satu kali panen bisa mencapai total 1,6 Ton cabai. Dan jika tak salah dengar semalam, pasarnya sudah mampu menembus Jakarta.
Oya, itu yang dikirim ke Jakarta beneran Cabai yang sekilonya kadang bisa mencapai harga 100/kg lho ya, bukan cabai cabaian yang kadang dengan sebotol fruit tea pun mau hahaha
Oke stop hahaha. Dari cerita beliau soal Cabai tersebut saya mendapatkan makna tersirat bahwa mungkin saja pak Rahadi ingin menunjukkan kepada saya bahwa segala sesuatu yang terorganisir, solid, dan istiqamah akan selalu mendapatkan hasil yang baik meski diperhadapkan dengan keterbatasan. Dan rasanya saya masih harus belajar lebih banyak lagi soal bab istiqamah dan bab sabar.[]