Buta Ekosistem = Buta Kehidupan: Sebuah Refleksi
Kemarin, pak Mahmudi dan Pak Roem berkunjung ke saung Wangsakerta, dengan tema diskusi Perubahan Iklim dan Transformasi Sosial. siang menjelang sore yang mendung diringi angin dan gerimis itu bertambah syahdu dengan mendengar kuliah dari keduanya. Pak Roem dan Pak Mahmudi adalah guru besar dalam dua bidang tersebut, dengan sederet pengalaman dan bukti penelitian yang tak perlu diragukan, buku-buku karya keduanya menjadi saksi perjalanan dan referensi belajar yang tak akan kering mengairi jiwa-jiwa yang satu rasa mengharap kehidupan harmonis antara manusia dan alam.
Senang sekali bisa bertemu langsung pertama kalinya dengan Pak Roem, orang yang ku sangka serius dan kaku sepintas dari raut wajahnya, ternyata bicaranya penuh humor dan santai pun menyejukkan hati pikiran yang akhir-akhir ini dirundung gelisah.
Kesekian kalinya, kesadaran tentang pentingnya menjaga-melestarikan lingkungan menyapa kalbu. Kesadaran yang selalu hilang karena sibuk hidup di dunia dalam kotak persegi yang penuh candu dan bikin lupa waktu, lupa makan, lupa diri, lupa agama, lupa tuhan, lupa belum punya pasangan.
Membuat kita terjebak dihayalan tak berkesudahan. Ekosistem yang kita buta karena tak pernah mendapat fyp nya di tiktok dan reels IG, tak pernah disinggung dosen di kampus, tak didemo ke DPR karena tak ada PERINGATAN DARURATnya, juga kalah viral dari lagu "gara-gara sebotol minuman" itu, benar-benar mematikan kepekaan kita bahwa orang tua di rumah tanpa PDAM sedang menghemat air lantaran sungai mengering dan si air entah hilang atau sembunyi di mana.
Entah hujan yang kini mulai turun apakah bisa mengembalikan debit air ke taraf stabil seperti sedia kala, atau justru seperti kata pak Mahmudi "langsung hilang ke laut" karena tanah hari ini semakin tak diberi jalan untuk menyerap air, tertahan semen, terhalang kerisihan manusia pembenci ledug dan leutak. "Becek tanah itu kotor", pikirnya. "Plester!" Dan faktor lainnya adalah manusia yang miskin keinginan menanam pepohonan penarik penyimpan air semisal, Bambu, Akasia.
Beton, aspal, plester, perum, dan pabrik-pabrik yang kita impikan indah dan menjanjikan kejayaan baik uang dan pekerjaan, nyatanya jadi senjata makan tuan yang sedikit demi sedikit menghancurkan bumi kita dan siap mewariskan kehidupan yang susah ke anak-cucu di kemudian hari.
Hutan gundul, danau kering, tumbuhan punah, ternak mati, hewan kehilangan habitat, ekosistem rusak, pemanasan global, bumi tandus, manusia lapar-dahaga, semua itu adalah resep sempurna untuk memulai peperangan antar manusia untuk saling berebut lahan subur atau berpotensi menghasilkan untuk kemudian jelas, dikomersilkan!
Tanda tanya besar yang benar-benar mengganggu pikiranku sampai tak fokus ikut diskusi saat forum "perencanaan berkelanjutan" yang diadakan peserta setelah acara, adalah tentang hilangnya kesadaran manusia menjaga-melestarikan lingkungan seperti yang diajarkan guru-guru Wangsakerta.
Aku buntu saat berpikir, sibuk apa manusia sehingga tak mau sebentar bertanya kenapa sungai yang biasanya mengalir walau kemarau, kini kering kerontang tak ada setetes pun airnya? Kenapa kita tak ada risau atau sekedar bingung ketika hujan turun atau udara dingin menusuk, padahal sedang musim panas? kenapa biasa saja saat tahu beras naik dan sayuran langka? Padahal semua pasti ada penyebabnya dan bahaya jika terus seperti ini.
Petani semakin sedikit, regenerasi sulit, pak petani sendiri justru tak berharap anaknya jadi petani, si anak disekolahkan tinggi-tinggi, dibiayai dengan uang hasil jual tanah sawahnya, pak petani berencana pensiun karena anaknya diharap-harap dengan ijazahnya akan jadi PNS bergaji tinggi, hidup kedepan akan tercukupi gaji anaknya.
Hilang sudah sawahnya, hilang satu petani.[]