Bertani tanpa olah tanah, mungkinkah?
Memasuki musim hujan tahun 2024 ini petani mulai menggarap lahan sawahnya, demikian pula saya dan kawan-kawan di saung Wangsakerta. Untuk penanaman tahun ini, saya ingin bertani tanpa olah tanah. Olah tanah yang saya maksud adalah tanpa mencangkul untuk membuat bedengan, bukan hidroponik ataupun menanam dalam polybag. Mengapa demikian? karena pikir saya, kalau lahan tidur luas dan tidak tergarap mengapa sampai harus hidroponik.
Pilihan untuk tidak berawal ketika saya mengamati lahan yang digarap dengan cara di cangkul untuk membuat bedengan. Tanah tersebut banyak tersapu oleh aliran air hujan, sehingga terjadi erosi. Erosi ini tidak mungkin hanya menyapu tanah, tetapi juga menyapu bahan organik dan unsur hara yang terkandung di dalamnya. Padahal bahan organik ini sangat dibutuhkan oleh tanaman. Kehilangan bahan organik atau humus bisa penurunan kesuburan tanah.
Tujuan awal dari mencangkul adalah untuk membuat tanah jadi gembur, sehingga memudahkan perakaran tanaman. akan tetapi disisi lain berdampak buruk bagi ekosistem tanah itu sendiri, seperti yang saya ceritakan di atas.
Kesuburan tanaman dimulai dari kondisi
tanah yang sehat. Ciri-ciri tanah yang sehat adalah tanah yang gembur, kaya bahan organik, dan banyak jasa renik yang hidup di dalam tanah, sehingga membentuk ekositem yang bisa menyuburkan tanaman yang kita tanam. Hal ini bisa kita lihat cermati dari kegunaan cacing bagi tanah.
Cacing merupakan salah satu indikator dari kesehatan tanah karena kehadiran cacing selalu sebanding dengan kondisi tanah yang lembab dan banyak terkandung bahan organik. Saya mengamati saat saya mencangkul di bawah pohon beringin. Di bawah pohon tersebut banyak dedaunan yang berguguran, serta kondisi tanahnya cenderung lembab. disana saya menjumpai banyak cacing. Hal ini terbalik ketika saya mencangkul di lahan yang banyak ditumbuhi ilalang selain tanahnya yang keras, saya juga jarang menjumpai cacing.
Cacing memakan bahan organik lalu mengurainya dengan cepat dan hasil penguraiannya bisa di serap oleh tanaman. Selain itu lubang yang mereka buat di dalam tanah juga menyediakan ruang bagi perakaran tanaman, sehingga tanah tidak padat atau tanah menjadi gembur. Bukankah ini salah satu tujuan dari mencangkul?.
Lorong-lorong yang mereka buat juga menyediakan ruang bagi oksigen masuk kedalam tanah yang sangat penting bagi mikrogranisme, dan juga berperan sebagai drainase di dalam tanah yang akan berdampak kepada kelembaban tanah. Ini masih salah satu saja contoh bahwasanya di dalam tanah ada suatu ekosistem yang terbentuk. Hilangnya salah satu dari ekositem ini bisa membuat keseimbangan
terganggu yang tentunya berpengaruh kepada tanaman yang kita tanam.
Lahan yang menjadi garapan saya kali ini di Saung Wangsakerta luasnya kurang lebih 1000 m kondisinya kurang subur ditandai dengan tumbuhan ilalang, dan kandungan bahan organik atau humusnya sedikit. Berbeda dengan tanah di green house yang juga berada di kawasan saung wangsakerta. Tanah ini sudah sering diolah dan dimasukkan berbagai jenis bahan organik. Tekstur tanahnya menjadi gembur dan lembab.
Dari berbagai sumber yang saya pelajari, salah satu indikator kesuburan tanah adalah angka Ph tanah atau tingkat keasaman dan kebasaan tanah, dengan skala 0-14. Semakin kecil angkanya semakin asam tanahnya, dan semakin tinggi angkangnya semakin basa tanahnya. Tanah yang ideal memilki angka dikisaran 6,5 dan 7,5. Fungsi dari tanah yang netral atau ideal berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk melakukan proses penyerapan unsur hara. Di cek dengan alat ukur Ph tanah di green house ini angkanya menunjukkan yang berrati netral. Sedangkan angka ukuran Ph di lahan yang ditumbuhi ilalang menunnjukkan angka 6,0 yang berarti tergolong asam.
Dengan latar belakang itulah, saya mencoba untuk menanam dengan tidak mengolah lahan. Selain untuk mengurangi erosi saya juga belajar dari pengamatan saya untuk menanggulangi ilalang. Tanaman indigofera yang saya tanam dapat mengalahkan ilalang mendapatkan sinar matahari. Dengan demikian pertumbuhan ilalang menjadi terganggu dan jika saya potong ilalang tersebut, lama kelamaan akan berganti dengan rumput biasa yang beberapa jenis rumput di antaranya bisa dijadikan pakan kambing.
Tahun ini saya mencoba menanam rosella tanpa mengolah lahan. Saya menutupi tanah dengan mulsa organik berupa dedaunan
kering, serutan kayu, sekam dan daun ilalang itu sendiri. Tujuan dari penutupan
ini adalah dengan membatasi ruang gerak ilalang mendapatkan sinar matahari. Cara
ini cenderung efektif menekan pertumbuhan ilalang, apalagi dengan menggukaan
daun ilalang itu sendiri sebagai tutupan. Ketika daun ilalang ditumpuk, keadaan
tanah dibawah tumpukannya cenderung lembab dan banyak disinggahi oleh cacing,
rayap, semut, dan beberapa serangga yang tidak saya kenali.
Saya mengunakan dua macam percobaan dalam menanam rosella ini. Pertama adalah tanpa membuat lubang. Saya hanya
mencongkel seikit tanah dengan sekop lalu memasukan bibit rosela, menambahkan
sedikit kompos dan di atasnya pakai mulsa organik dari daun ilalang itu sendiri.
Kedua, saya memulai dengan membersihkan lahan yang dipenuhi ilalang ini dengan mesin rumput. Saya membuat lubang berukurang kurang lebih 15cm x 15 Cm dengan kedalaman 15cm, lalu saya tambahkan kompos dan diaduk dengan tanah hasil penggalian lubang lalu langsung menanam bibit rosela. Jarak antar lubang bisa kita sesuaikan, karena ini percoban pertama saya saya menggunakan jarak tanam antar tanaman yakni 40cm, sebagai antisipasi tanaman rosela ini pertumbuhanya kurang subur. Langkah terakhir, saya menutup lahan disekitarnya dengan mulsa menggunakan potongan ilalang dari pembukaan lahan. Untuk pupuk tambahannya saya menggunakan pupuk organik cair.
Inilah upaya saya untuk mengurangi erosi tanah di lahan Garapan terutama di musim penghujan ini. Erosi tanah adalah adalah musuh petani bahkan kita semua, kenapa saya sebut musuh pertani? karena erosi tanah menyebabkan kesuburan tanah menurun dan mengkibatkan turunnya produktivas pertanian, dan lebih jauhnya bisa mempengaruhi ketahan pangan.
Upaya yang saya lakukan ini adalah untuk memuliakan air dan tanah. Ada uangkapan “bumi ini bukanlah warisan nenek moyang kita, namun merupakan titipan anak cucu kita mendatang”, kalimat ini memanggil kita untuk kewajiban untuk mengelola dan memelihara bumi (tanah dan air) ini dengan sebaik-baiknya. []