Bersama Isyam & Nostalgia Ngenger-nya
"Gua sekarang aktif di remaja masjid, bantu ngurus warga di sini. Kuliah dan selebihnya kerja jadi driver makanan." Kata Isyam, buka percakapan. Dengan intonasi khas anak Jaksel, tanpa dilebih-lebihkan.
Ini pertemuan pertama kami, sejak dua tahun kurang-lebih tak bersua. Katakanlah semacam 'mini reuni'; antara saya sebagai 'abang' dengan ia sebagai adik, dalam hubungannya sebagai warga belajar yang pernah disatu-atapkan di program Ngenger, dulu.
Isyam tumbuh dalam kultur Ibukota. Mengenyam pendidikan di program Ngenger, seperti diungkapkannya kemudian, membuat ia punya sesuatu 'berbeda'. Berbeda dari apa dan untuk apa? Dari dan melalui banyak hal.
Satu di antaranya adalah terkait sudut pandang ia untuk kehidupan di kampung dan desa, serta simpanan proyeksi terhadap tindakan pemungkin yang akan dilakukan di kemudian hari untuk kampung halamannya sendiri.
Sebelum dan sesudah mengikuti proses Ngenger, Isam mengamati betul 'transformasi dirinya' terhadap apa dan bagaimana sesuatu yang disebut 'desa beserta kehidupan di dalamnya' itu!
Isyam adalah angkatan pertama program Ngenger, bersama dua kawan lainnya, yakni Tomi dan Alif.
Sekolah Ngenger ini, sejak dibuka pertama hingga hari ini, memang sepi peminat. Kadang hanya tiga, dan menurut ingatan pendek saya belum pernah diikuti oleh lebih dari 10 orang.
Apakah itu masalah? Ya belum tentu, dan nggak juga.
Begini...
Pertama, lama sekali kita alami langsung 'industrialisasi pendidikan'. Para ahli sepakat bahwa kondisi macam ini telah berlangsung secara struktural mengkondisikan ekosistem belajar yang menjauhkan manusia dari kenyataan hidupnya sendiri. Intinya, yang mau saya bilang, pendidikan akhirnya direduksi jadi seakan soal-soal sertifikasi, kuantifikasi, dan turunannya.
Kedua, sudah jarang, bahkan terhitung jari, lembaga seperti NGO membuat program untuk masyarakat yang hakikat dan pelaksanaannya juga serius. Pelatihan 1-3 hari selesai, dan siklus tersebut diulang terus-menerus.
Sudah jarang, bahkan terhitung jari kok, NGO yang memang peduli menyediakan nafas panjang untuk buat program yang konsisten di masyarakat, dengan atau tanpa suntikan dana sekalipun.
Jika ditanya, mengapa?
Ya biasanya jawabannya soal administrasi. Hemat saya sih, yang kedua itu jadi tidak jauh mereplikasi masalah pada point pertama.
Tatkala sekolah Ngenger dirancang dan diimplementasikan, ia berupaya untuk menjawab dua pra dan kondisi di atas, tentu ini juga sebagai bagian dari tindakan yang dilakukan oleh Komunitas Wangsakerta sebelumnya. Ia berikhtiar untuk 'melawan' kondisi industrialisasi, dan materialisasi dalam ruang lingkup yang berhubungan dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, terutama sekali di desa.
Ini setidaknya yang saya tangkap; sebagai orang yang juga turut tertempa di Ngenger.
Secara 'permukaan', program Ngenger menyediakan aktivitas harian seperti bertani, beternak, diskusi, menulis, pengembangan informasi dan media, serta lain-lain.
Secara hakikat, ia menyediakan semacam ruang untuk mengajak orang kembali menjadi 'manusia'. Dan mini-reuni ini adalah pertemuan dua manusia yang (InsyaAllah) dengan seluruh upaya dan jalan ingin ditempuh, bercita-cita meletakkan desa dan kampung sebagai tujuan akhir hidupnya.
Wallahu 'Alam,
Omen
Tegal parang, Jaksel 02 September 23