Assesment Pengelolaan Sampah di Desa Pamengkang (ke-2)
Hari ke 2, Sabtu, 29 Desember 2025
Ini hari kedua saya ikut assesment pengelolaan sampah di Desa Pamengkang. Tim yang berangkat ke Desa Pamengkang berjumlah 5 orang: 2 fasilitator dan 3 peserta. Lokasi pendataan berada di Blok Pon tepatnya di RT 03 dan RT 04 RW 05. Sebelum turun kami mampir dulu ke rumah RT 03, Pak Said untuk minta mendampingi kami.
Supaya efesien, kami membagi dua tim. Masing-masing tim didampingi fasilitator. Tim yang mengambil data di RT 03 terdiri dua peserta dan satu fasilitator, tim yang ke RT 04 sisanya. Saya kebagian mencari data di RT 04. Lokasinya berada di sebelah timur. Untuk mencapai ke sana, kami harus menyusuri jalan yang bersebelahan dengan irigasi.
Saya melihat pemandangan yang membuat miris. Sepanjang irigasi banyak sampah-sampah terutama plastik. Ada juga sisa-sisa pembakaran sampah. Meskipun ada tulisan "Dilarang Keras Membuang Sampah Di Sini", tetap masih terlihat banyak sampah. Ditambah tumbuhan liar membuat sampah tersangkut. Sampai di sebuah titik kami melihat tanggul jebol yang cukup parah.
Tiba di lokasi kami tidak langsung mengunjungi rumah-rumah warga. Tapi kami menunggu ketua RT 04 yang akan mengantar kami. Kami menunggu persis di pos satpam Perumahan Trusmi Land. Sepeda motor saya titipkan ke satpam perumahan karena letaknya tak jauh dari pemukiman warga RT 04.
Di sela-sela menunggu, kami, melihat bapak-bapak yang mengendarai sepeda motor butut dengan gotrok berisi sampah. Sedikit takjub, karena kuat membawa beban seberat itu sendirian. Cukup lama menunggu Pak RT 04. Akhirnya Ia muncul dan menyapa kami.
Kami memulai pendataan dengan mengunjungi salah satu rumah warga paling terakhir. Rumah tersebut berada persis di pinggir jalan akses menuju perumahan. Terdapat tumbuhan-tumbuhan di pekarangannya. Pemilik rumah tersebut sudah mengolahnya menjadi kompos dan pupuk. Untuk sampah non organiknya ia bakar di pekarangan rumahnya.
Sumber: Pribadi
Kami melanjutkan pendataan ke rumah warga lainnya. Kami mendapati seorang
ibu yang mengalami penyakit osteoporosis. Dalam kesempatan tersebut kami mengajaknya untuk mengikuti program menanam. Fasilitator menyarankan kepada si ibu untuk nanti menanam kelor yang memiliki manfaat mengobati penyakitnya. Si ibu pun mengiyakannya.
Lanjut, dari kejauhan dua orang ibu-ibu melemparkan senyumannya pada kami. Ternyata salah seorang dari mereka merupakan istri Pak RT. Siapa sangka mereka menganggap kami sedang mendata untuk program bantuan. Tapi kami pun langsung segera meluruskannya.
Perasaan saya agak sedih, tidak bisa berkata apa-apa, ketika kami mengunjungi
salah satu rumah warga, seorang bapak-bapak. Ia mengatakan tidak ikut karena lebih simple membuangnya langsung ke sungai.
Masih dekat dengan bapak di atas. Kami mendapat sambutan positif. Bapak ini ikut program pengolahan sampah dan menanam. Ia bertanya lebih detail , apakah nanti, akan disediakan tempat untuk mengumpulkan sampah setiap rumah, atau cukup mengumpulkannya di depan rumah masing-masing.
Bapak tersebut juga mengeluhkan tidak adanya penerangan di sepanjang jalan RT 04. Dia juga mempertanyakan, katanya, ada bantuan untuk lampu tiang tersebut dari perumahan. Pak RT 04 pun cukup kesulitan menjawabnya. Ia hanya bilang "nanti" dan kami pun melanjutkan pendataan ke rumah
warga selanjutnya.
Kami mendatangi sebuah rumah yang punya banyak tanaman bunga dan ada pepaya California. Ada juga kami lihat kolam ikan yang dibuat pakai beton, tapi tak nampak ikan di kolam tersebut. Kami mendapat sambutan antusias dari si ibu pemilik tumah, Ia bersemangat menanyakan perihal apakah sampah bisa diolah menjadi pakan ikan. Biasanya, ia membakar sampah di pekarangan belakang rumahnya yang juga ada kolam yang berisikan ikan mujaer.
Tak jauh dari rumah si ibu di atas, terdapat dua rumah di belakangnya. Mereka memiliki kebun yang luas dan banyak tanaman. Juga terdapat empang yang cukup luas, namun tak nampak ikan. Mereka, biasanya, membakar sampah di pekarangan rumahnya. Jadi, untuk program pengangkutan sampah mereka tidak ikut. Syukurnya, mereka, mau ikut dalam program menanam.
Kemudian kami bertemu seorang bapak-yang sedang ngobrol dengan beberapa anak muda. Saat ditanya bagaimana ia mengelola sampah rumah tannhana, ia mengatakan bisanya ia membakarnya di tepian irigasi. Bagusnya, Ia mau ikut program ini.
Sumber: pribadi
Di samping rumah bapak di atas, ada rumah tetangganya. Bapak tersebut membantu memanggilkan tetangganya untuk kami wawancarai. Keluarlah seorang laki-laki, umurnya kurang lebih 30-an. Saat kami menyampaikan program pengangkutan sampah, ada pertanyaan yang cukup kritis dari bapak tersebut. Ia bertanya soal ke mana nantinya sampah angkat diangkut. Salah seorang dari kami menjawab, sampah nantinya akan dibuang ke TPS di komplek pemakaman yang sebelumnya sudah dibangun.
Salahnya, saya menimpali jawaban pertama. Dengan mengatakan, bukan di situ, tapi di tanah milik desa. Tepatnya, dekat sekolahan. Si bapak pun bertanya lagi soal tempat tepatnya di mana. Karena belum observasi saya agak kelabakan ketika ditanya TPSnya tepatnya dimana. Soalnya, kalau dekat sekolahan yang dekat lapangan itu dekat pemukiman warga, kata si bapak.
Bangunan di area pemakaman yang akan dijadikan TPS. Sumber: pribadi
Ia juga mengatakan, kalau dibuangnya ke TPS komplek pemakaman akan mengakibatkan bau. Soalnya, jaraknya cukup dekat dengan pemukiman. Kami mendapat kritik, harusnya, sebelum pendataan, tempat TPS nya harus ditentukan dan benar-benar fix. Akhirnya, Pak RT 04 meluruskan bahwa kami hanya melakukan pendataan saja.
Tak jauh dari rumah bapak di atas, terdapat rumah yang cukup besar yang sempat kami kira sebuah CV. Di depan rumah tersebut terdapat pohon bambu yang rimbun membuat suasananya teduh dan sejuk. Juga banyak tumpukan karung yang isinya kompos (setelah kami konfirmasi).
Rumah tersebut merupakan sebuah sanggar tari (saya lupa namanya). Sebelum kami mewawancarai, bapak pemilik rumah menceritakan asal-usul sanggar tersebut. Ia mengaku suka menanam dan sering membuat kompos. Ia juga mengutarakan bahwa sering mendapat kritik dari tetangga karena suara musik yang mengiringi tarian terdengar oleh mereka.
Pak RT 04 meyarankan pengelola sanggar mensosialisasikannya kepada warga. Si bapak cukup antusias, karena ia juga memiliki ambisi untuk mengajak warga setempat terutama anak muda untuk ikut latihan menari. Singkatnya, si bapak bersedia ikut program pengolahan sampah bahkan siap berkolaborasi di program penanaman.
Sanggar tersebut menjadi rumah terakhir pendataan di RT 04, karena Pak RT ada urusan penting. Kami pun menyudahi pendataan dan kembali ke Saung Wangsakerta untuk istirahat. Rencananya, kami akan lanjutan setelah zuhur. Karena cukup melelahkan ditambah cuaca Cirebon yang panas.
Karena masih banyak rumah yang belum terdata, kami melanjutkan pendataan. Cuaca saat itu cukup mendukung. Tapi, tak menghentikan kami untuk melakukan pendataan. Motor kami titipkan di rumah Pak Dulang, seorang yang dipercaya Kuwu untuk kelancaran program ini. Masih di RT 04 RW 5, Blok Pon. Kami sedikit kebingungan mulai pendataan dari mana. Terlihat ada sekumpulan ibu-ibu mengerumuni tukang sayur di depan sebuah rumah. Kami memutuskan mulai pendataan dari sana.
Kami menemui empat orang perempuan. Salah satunya berasal dari Desa Banjar, ia mengaku sampah rumah tangganya diangkut oleh tukang sampah perumahan. Dengan tarif Rp. 15.000, tapi ia sering menambahkan tip sebesar Rp. 5000 untuk kopi pada si pengangkut. Ibu yang lainnya mengatakan jika warga RW 05 banyak yang ikut mereka juga akan ikut.
Tak lama-lama dari sana, kami melanjutkan ke rumah di sebelahnya. Terlihat ada ibu-ibu, ternyata, dia bukan pemilik rumah. Pemiliknya adalah adiknya, seorang bapak-bapak. Kami mewawancarainya dan hasilnya ia tidak akan ikut program ini karena Ia biasa buang sendiri ke TPS. Ia juga tidak ikut
menanam karena tidak memiliki waktu dan jarang di rumah.
Ada beberapa rumah yang kami lewati, karena tidak ada penghuninya. Kami sampai di dua rumah yang berdempetan, salah satunya sebuah warung kecil-kecilan. Ada seorang bapak-bapak yang sedang sibuk ngelas. Ia menyarankan kami ngobrol dengan ibunya, si pemilik warung, karena ia sibuk dan istrinya kebetulan tidak ada di rumah.
Kami pun mewawancarai ibunya yang cukup tua. Terlihat di depan rumahnya kakek-kakek, suami si bu, sedang membakar sampah di irigasi. Si ibu pun mengatakan tidak akan ikut program ini dengan alasan cukup membakarnya di irigasi. Pekarangan rumahnya sempit untuk jadi tempat polibag.
Ada cerita yang menarik, seorang ibu-ibu yang kebingungan soal sampah. Makanya dia antusias ketika kami menawarkan program pengelelolaan sampah.Ternyata, yang dia pusingkan adalah karena ada larangan membuang atau membakar sampah di irigasi. Ia bingung di mana lagi ia membuang sampah. Saya melihat ada erlihat sepanduk larangan buang sampah di irigasi yang sudah sobek. Saya sempat buat candaan "Itukan sobek, ngapain takut bu?", ia hanya menjawab dengan senyuman. Biasanya, ia membakar sampah di irigasi bergantian dengan tetangganya yang lain. Kadang ia membakarnya di malam hari karena lebih leluasa.
Sumber: pribadi
Bbeberapa meter dari rumah ibu di atas, kami mendatangi rumah yang memiliki pekarangan yang cukup luas Kami mellihat bekas pembakaran sampah. Melihat itu saya sedikit pesimis, karena menduga pasti tidak akan ikut. Ternyata dugaan saya benar, mereka menolak ikut program ini karena sampah biasanya dibakar di pekarangan. Mereka juga tidak ikut menanam karena ada banyak unggas seperti ayam yang takutnya akan merusak tanaman.
Setelah itu, kami beranjak ke rumah yang punya warung kecil-kecilan. Lokasinya strategis dekat dengan lapangan bola. Tampak seorang perempuan, sibuk melayani pelanggan. Saya mewawancarai suaminya. Saya memulainya dengan mengatakan dengan mengatakan ada pendataan dari desa soal pengangkutan sampah.
Tiba-tiba, si bapak agak sedikit merengut. Ia mengatakan, belum pernah diajak kumpul oleh RT. “Informasi soal bantuan-bantuan sama sekali tidak sampai, tau-tau tetangga saya sudah dapat, ‘ katanya. Setelah selesai bicara, aku coba meluruskan pendataan ini. Akhirnya dia paham dan bersedia ikut.
Ada yang menarik lagi, ada seorang bapak- yang bekerja sebagai pengangkut sampah di
satu perumahan. Anehnya, ia tak pernah membuang sampah di rumahnya ke TPS yang sama dengan tempat ia kerja. Dengan alasan tidak diperbolehkan. Ia mengaku membuangnya di kebun. Saya mengorfirmasi lokasi kebun yang dimaksud tepatnya dimana, jawabannya cukup mencengangkan. Kebun yang dimaksud adalah pinggiran sungai (perlu konfirmasi lebih lanjut sungai yang disebelah mana). Mendengar jawabannya, saya langsung membayangkan kalau di pinggir sungai otomatis kalau airnya naik sampahnya ikut hanyut.
Semakin sore, kami mendengar suara petir menggelegar dan langit pun gelap. Kami tidak terlalu lama mengobrol. Lanjut ke rumah di sebelahnya yang dihuni oleh pasangan muda mudi. Aku mewawancarai suaminya yang seumuran denganku. Ia menyambut dengan baik program pengangkutan sampah ini. Cuma untuk menanam agak keberatan. Karena ia bekerja full seharian pagi-sore dan liburnya cuma hari minggu. Istrinya sibuk mengurus anak karena baru beberapa bulan melahirkan.
Lanjut ke rumah di sebelahnya. Pemiliknya juga seorang yang bekerja mengangkut sampah di salah satu perumahan. Soal sampah ia biasa bawa ke TPS tempat ia bekerja. Ia mengeluhkan susahnya meminta iuran bulanan sampah ke setiap rumah. Sampai-sampai ada yang nunggak 2 tahun. Karena tidak mencukupi, ia tidak terlalu mengandalkan dari hasil ngangkut sampah. Ia merangkap menjadi menjadi tukang bangunan.
Terlihat ada botol air mineral berisi minyak jelantah yang menjadi perhatian salah satu fasilitator, Najib. Ia menanyakan untuk apa minyak tersebut. Bapak tersebut mengatakan untuk dijual ke tetangganya seorang pengepul rongsokan. Minyak jelantah ia dapatkan dari sampah-sampah perumahan.
Hujan turun, kami memutuskan menyudahi pendataan. Kami merapat ke rumah Pak Dulang yang sempat kami titipkan motor. Sebelumnya, kami tidak bertemu Pak Dulang. Tapi, saat kami kembali lagi, kami bertemu dengannya.
Hujan semakin deras. Kami ditahan di rumahnya untuk menceritakan hasil assesmen kami. Dalam kesempatan tersebut, saya bertanya soal sejarah irigasi dan sebelum adanya perumahan. Ternyata,
dulunya air di irigasi sangat jernih karena air langsung dari Setu Patok, bahkan Pak Dulang semasa kecil sering mandi di irigasi. Karena masih banyak sawah-sawah padi pun terbentang luas. Hingga tahun 2000-an (tepatnya, lupa) mulai tumbuh perumahan sampai sekarang.
Alih fungsi lahan pertanian membuat irigasi tidak berfungsi. Air yang tadinya dialirkan dari Setu Patok disetop karena sudah tidak ada lagi sawah. Malah dijadikan tempat pembuangan sampah.
Saya juga bertanya soal penyebab tanggul jebol. Menurut Pak Dulang, penyebabnya adalah saat musim hujan air datang dari dua arah berlawanan. Yang seharusnya dari timur (arah hulu, Setu Patok) ke barat (hilir), malah dari hilir juga mengalirkan air. Akhirnya berkumpul di satu titik hingga meluap sampai mengakibatkan jebol. Hal ini terjadi karena adanya pendangkalan dasar irigasi oleh sedimentasi lumpur yang diperparah dengan sampah. Setelah kejadian tersebut Pemdes memasang spanduk tulisan larangan membuang sampah di irigasi.
Tak teras hujan pun reda. Kami memutuskan pulang ke Saung Wangsakerta karena hari sudah gelap. Banyak cerita terlewatkan, banjir cerita yang antusias dengan rencana pengelolaan sampah ini. []